Orang Madura: Membongkar. Mengurai. Memproduksi.

6

 

Sebuah papan triplek bertuliskan “Menerima Bongkaran Rumah” sudah sering kita lihat di jalan-jalan. Namun, mungkin selama ini kita tidak terlalu peduli dan memperhatikan hal tersebut.

Akan tetapi kita sering mendengar orang menganalogikan bongkaran rumah, besi tua, atau barang bekas dengan satu suku di Indonesia, yaitu Madura. Dan pelaku bisnis seperti ini sering disebut sebagai Orang Madura.

Pada suatu sore saya diajak seorang teman bernama Ivan Christianto yang juga seorang desainer produk ke pinggir tol Ringroad Kembangan. Ia hanya mengatakan ingin belanja material untuk sebuah proyek hotel. Itulah pertama kali saya berhubungan langsung dengan praktik Orang Madura.

3

Pinggir tol Ringroad Kembangan sudah menjadi sentra bisnis Orang Madura. Di sepnajang jalan, tempat-tempat usaha semi permanen berdiri menjual aneka bahan bekas. Tempat pertama yang kami singgahi adalah sebuah warung yang menjual aneka macam drum bekas bahan kimia, tong bekas cat, jerigen-jerigen, dan wadah-wadah plastic lainnya. Sepintas tidak ada yang menarik dari barang-barang bkas tersebut. Namun, Ivan punya sudut pandangnya sendiri. Ia tertarik pada seal tutup drum dan membelinya sebanyak 10 buah.

8

Warung ini dimiliki oleh sepasang suami-istri asli Madura. Umur mereka terlihat sudah lanjut, kira-kira 60-an tahun. Ivan dilayani oleh si ibu, sedangkan si bapak hanya bertugas sebagai kasir. Yang menarik, Ivan sendiri yang menghitung jumlah uang yang harus ia bayarkan, begitu pula kembaliannya. Rupanya sepasang suami-istri ini tidak pandai berhitung.

Ibu ini bercerita jika awalnya ia banyak menjual kayu dari bongkaran rumah. Namun kemudian ia mulai menjual wadah-wadah bekas industry. Dan sejak itu, ia bahkan tidak perlu mencari pemasok barang dagangannya, karena industri yang mencarinya. Ibu ini biasa membeli barnag-barang bekas industri sesuai dengan harga yang disepakati, kemudian ia menual kembali dengan menambahkan harganya.

4

5

Selesai dengan seal tutup drum, kami lanjut ke warung sebelahnya yang menjual kayu-kayu bekas. Di warung ini kami melihat batang kayu pinus yang tertata rapi. Rupanya kayu tersebut adalah kayu bekas packing. Ivan segera bertanya harga kayu tersebut kepada penjualnya. Penjual kayu bekas ini kemudian memberikan kwitansi kepada Ivan agar Ivan menuliskan item dan harga yang ia beli. Rupanya, penjual yang ini bahkan tidak bisa menulis.

Si penjual kemudian menginformasikan jika nanti sore akan datang kayu packing di bandara Soekarno Hatta. Mendengar informasi ini, Ivan langsung menawar kayu yang belum terlihat wujudnya itu. Ivan pun langsung membayar sesuai kesepakatan. Tunai. Ivan berani membayar tunai kayu itu karena logikanya, kayu packing yang datang di bandara biasanya adalah packing untuk mesin-mesin berat. Maka sudah pasti meggunakan kayu bagus yang kuat untuk menopang mesin tersebut.

2

Kekurangan kau bekas packing hanya pada masalah visual, yaitu adanya bekas paku atau cap merek. Selain itu, kayu bekas ini hanya memiliki kelebihan, yaitu kuat. Bagi desainer yang tida kberatan dengan cap atau pun lubang bekas paku, maka hal ini sama sekali bukan kekurangan.

Beberapa penjual kayu bekas pacing atau palet packing dari kayu juga memisahkan kayu dari paku-pakunya. Kayunya dijual sebagai kayu mentah, dan pakunya dijual kiloan, atau dipakai lagi untuk membuat mebel.

9

Di antara warung ini kami juga menemukan warung yang menjual palet packing dari plastic. Palet seperti ini lebih kuat daripada palet packing yang terbuat dari kayu. Maka sudah pasti penjual palet ini mendapatkan pasokanbarang dagangannya dari industri berat.

1

Sampai di sini, kita bisa melihat Orang Madura punya peran penting di dalam industri. Mereka mengumpulkan sampah industri. Mereka juga menerima sampah konstruksi. Semua hal yang orang awam atau khususnya desainer anggap sudah tidak berfungsi, usang, atau buruk, menjadi punya nilai di mata mereka. Fungsi, estetika, kebaruan adalah konsep yang tidak relevan bagi praktik mereka. Bagi mereka segala hal adlaah bahan mentah, maka nilai tambah semacam itu tidak masuk pertimbangan. Dan faktanya, barang rongsok yang mereka jual selalu menemukan pasarnya.

Masih di pinggir Jalan tol ringroad puri, ada sebuah warung yang memampangkan papan nama. Di sana terdapat tulisan, “Menerima pesanan pembuatan mebel, dapur, dan rumah.” Maka jika sebelumnya Orang Madura hanya menghancurkan, mengurai, dan tidak percaya akan nilai tambah, kini mereka pun memberikan nilai tambah tersebut.

Mereka mulai memasukkan atau mengalihkan fungsi dari palet bekas atau kayu packing menjadi kursi atau meja. Besi-besi bekas kosntruksi diremajakan menjadi struktur baru. Fungsi baru adalah pasar yang baru, berbeda dengan konsumen yang membeli barang bekas sebagai bahan mentah.

Meski bisnis Orang Madura ini tidak popular dengan kualitas produk yang baik, namun bukannya orang-orang ini tidak melakukan apa-apa untuk menambahkan nilai produk tersebut.

Hal pertama yang mereka lakukan adalah menambah keterampilan craftsmanship mereka dengan skill yang sederhana: memotong, mengamplas, dan mendempul. Untuk masalah estetika, mereka yang tidak berlatar belakang desain mendapatkan pengetahuan desainnya dengan cara membeli catalog IKEA bekas di pasar buku bekas. Insting desain mereka pun lama-lama terasah, meski capaiannya bukan sebuah produk desain tinggi, tapi dengan usaha improvisasi di sana-sini.

Orang-orang Madura ini memang tidak terbekali oleh pengetahuan craftsmanship dan desain. Akan tetapi kita bisa melihat ada pengetahuan di sana karena mereka tidak hanya mereplika tapi juga mengembangkan. Permaslaahannya adalah arah perkembangannya mungkin berbeda dengan arah perkembangan pengetahuan yang biasa terjadi pada desainer.

Peran dan posisi Orang Madura di dalam ekosistem industry dan industry desain atau konstruksi sebenarnya jelas ada, namun mereka berada di wilayah sub-industri yang ada di lapisan yang terselubung. Di dalam ekosistem industri desain mereka berperan baik sebagai pengurai dan pemasok bahan mentah sekaligus. Namun tak berhenti di situ, mereka juga membentuk industri mereka sendiri.

Penelitian tentang sustainability keberadaan mereka secara ekonomi memang masih harus dilakukan lebih lanjut. Namun melihat keberlangsungan bisnis mereka yang sudah bertahan puluhan tahun dan menyejahterakan keluarga mereka (mampu membeli mobil dan naik haji), bisa dibilang praktik mereka survive. Dilihat dari sebaran pelakunya di Jakarta, kita bisa menduga praktik ini memutar roda ekonomi riil yang terukur.

Bincang-bincang Dengan Sunaryo

sunaryo2

Saat bicara tentang industri kreatif, kita bicara tentang desainer, arsitek, seniman, film maker, animator, dan sebagainya. Lalu di mana kita letakkan perajin? Orang-orang yang menjadikan ide-ide menjadi nyata dengan keterampilannya.

Industri memang seperti momok bagi perajin. Di satu sisi mereka berketergantungan pada industri karena dari situlah mereka bisa makan. Namun di sisi lain industri seperti racun yang membunuh kreativitas mereka.

Namun perajin mebel dari Desa Senenan ini berbeda. Sunaryo (41) bisa dibilang berhasil mengakali industri dengan sistem yang ia bangun bersama perajin-perajin yang bekerja bersamanya. Ia sekarang bekerja sama dengan satu label produk mebel Jepang. Dia menggunakan kesempatan ini untuk terus meningkatkan kualitas craftsmanship tangan-tangan Jepara.

 

Banyak industri di Jepara (katanya) terpuruk karena krisis ekonomi Eropa dan Amerika. Anda juga mengalami hal yang sama?

Syukurnya kami tidak pernah kekurangan order. Ini karena produk Jepang biasanya memiliki garansi seumur hidup. Jadi kalau pun tidak ada order untuk produksi barang baru, pasti ada saja order untuk renovasi. Ini yang membuat produksi terus berjalan.

Kenapa Jepang?

Tidak ada yang kebetulan. Dulu saya kalau berpikir, apa, ya, negara yang maju? Yang ada di benak saya adalah Jepang. Naif, ya? Tapi benar begitu. Makanya waktu SMA saya tidak mengambil IPA, atau IPS, tapi saya mengambil bahasa. Itu pertama kalinya saya belajar bahasa Jepang. Bahasa Jepang saya cuma lumayan, tidak lancar-lancar sekali. Tapi dibandingkan dengan rata-rata orang Indonesia, bahasa Jepang saya jadi bagus. Lain ceritanya kalau dengan bahasa Inggris. Bahasa Inggris saya juga cuma cukup, tapi menjadi tidak cukup karena banyak sekali orang Indonesia yang berbahasa Inggris dengan lancar. Makanya dalam hal ini saya menang, karena saya paling bisa memahami maunya orang Jepang itu apa.

Anda juga membuat mebel untuk perusahaan lain?

Wah, untuk satu perusahaan saja kami kewalahan.

Tidak terpikir untuk memperbesar workshop-nya?

Tidak. Saya lebih suka bekerja dalam tim kecil. Tidak boleh lebih dari 50 orang, jadi saya bisa mengontrol lebih baik.

Saya dengan mendapatkan kayu yang baik sekarang susah. Bagaimana Anda mengatasi hal tersebut?

Itu kenapa saya selalu meminta orang-orang dari Jepang untuk mengemail permintaan mereka selama setahun penuh, jadi saya bisa mengurus masalah persediaan kayu jauh-jauh hari. Itu, kayu yang ditumpuk di sana itu persediaan sampai tahun depan. Jadi kami tidak perlu kelabakan kalau ada order, tapi kayu tidak ada. Akan tetapi kami juga tidak selalu memerlukan kayu yang bagus. Terkadang kayu yang jelek juga dibutuhkan, karena sistem konstruksi kami memakai konstruksi laminated. Jadi tergantung pemakaiannya bagaimana.

bc kobo20

Workshop BC Kobo, yang disebut gudang, terlihat seperti kluster kecil yang terdiri dari bangunan-bangunan terbuka. Banyaknya bangunan menunjukkan banyaknya production line. Mulai dari ruang pemotongan, ruang laminating, ruang assembling, ruang pengamplasan, ruang upholstery, ruang finishing dan pengecatan, kiln, kantor, loker and toilet, dan ruang makan. Di ruang-ruang ini, tiap komponen dinamakan dengan bahasa Jepang dan digantung atau ditata dengan rapi di kotak-kotak kecil.

Mengapa komponen-komponen ini digantung dan dinamakan?

Jadi tiap komponen diberi nama supaya proses produksi lebih mudah dan cepat. Kalau kami menerima order untuk membuat satu tipe kursi, kami tinggal mencari mana komponen yang harus direproduksi. Lalu semua tinggal dirangkai. Komponen yang lebih sering dipakai akan lebih sering kami produksi. Jadi kalau dibutuhkan tinggal ambil saja.

Apa saja yang terjadi di ruang makan?

Ruang makan ini ruang demokrasi kami, tidak ada perbedaan di sini. semua tukang atau perajin makan di sini. Saya makan di sini. Bos saya yang orang Jepang juga makan di sini. Kami tidak cuma makan di sini. Masalah juga harus diselesaikan di sini, semua dibagi di sini. Jadi nanti kalau kembali kerja, semua sudah ada solusinya, tidak bingung lagi.

Apa ini sistem industri Jepang?

Ini bukan sistem dari Jepang, bukan juga sistem Jawa. Di sini cuma saya yang punya sistem seperti ini.

Apa pekerja Anda punya kesulitan mengikuti sistem yang Anda terapkan?

Mungkin iya pada awalnya. Tapi saya, khan, tidak harus melakukan semuanya sendirian. Saya biasanya mencari orang-orang yang memahami maksud saya, lalu biarkan orang-orang itu yang memimpin yang lain. Kalau yang satu berhasil, masa yang lain tidak mau ikut? Biasanya hari-hari pertama berat, tapi lalu jadi mudah. Tapi nanti bisa jadi berat lagi karena lupa. Nah, ritme ini yang harus dijaga.

Apa Anda juga mendesain?

Kalau biasa membuat mebel, ya, akhirnya mendesain juga. Di sini, khan, banyak komponen. Jadi saya tinggal modifikasi saja. Atau misalnya hanya merangkaikan komponen-komponen dengan konfigurasi yang berbeda saja sebenarnya kita sudah mendapatkan bentuk yang baru. Ya, kalau saya mendesain seperti itu.

Kenapa kursi-kursi di sini rendah-rendah?

Kaki orang Jepang itu unik. Dari pinggang ke lutut panjang, dari lutut ke bawah pendek. Kalau mereka lebih tinggi, biasanya yang memanjang itu tetap dari lutut ke pinggang. Jadi kursi Jepang selalu lebih rendah daripada kursi pada umumnya, paling rendang 20 cm (tipe Tatami), dan paling tinggi 40 cm (reguler). Tapi kadang saya juga bermain di angka di antaranya. Kalau mereka bisa duduk dari 20 sampai 40 cm, kenapa kita tidak eksplorasi tinggi di antaranya?

Lalu desain Anda diterima?

Tidak diterima juga tidak apa-apa. Ini menjadi eksperimen buat saya. Tapi biasanya dari beberapa yang saya buat, pasti ada yang mereka sukai. Lalu desain saya diproduksi untuk dijual. Otomatis biaya eksperimennya tertutupi.

Apa kami bisa beli kursi Anda?

Wah, kalau mau beli harus ke Jepang. Haha… Pernah ada orang datang ke sini, pejabat juga. Lalu mereka suka dan mau beli. Terpaksa saya tolak dan kasih kontak orang marketing di Jepang. Saya ini pembuat kursi, bukan pedagang kursi. Jadi jangan beli kursi dari saya.

Anda bukan desainer, bukan juga arsitek, tapi bisa mendesain kursi dan rumah sendiri?

Pada dasarnya sama saja. Saya tidak bisa bilang ruamh saya bagus, tapi saya suka rumah saya, dan saya benar-benar membuat apa yang saya bayangkan. Yang pasti rumah saya murah, karena semua material dan pekerjanya tersedia. Di sini banyak detail-detail yang saya pikirkan sendiri. Misalnya saja saya tidak menggunakan bekisting untuk kolom tapi batanya saya susun lalu langsung saya cor. Lebih cepat dan tidak buang-buang kayu. Baloknya juga saya lapis dengan bata. Awalnya tukang yang mengerjakan tidak berani karena tidak umum. Lalu saya bilang ke dia, “Kamu itu penakut banget. Kalau kamu gagal, toh, tetap saya bayar. Jadi kenapa tidak dicoba dulu saja?”

Anda memiliki kamar mandi yang terbuka. Kenapa harus terbuka?

Kami sekeluarga cuma punya satu kamar mandi, yang letaknya di atas, bersebelahan dengan kamar anak-anak kami. Terbuka bukan cuma ke kamar anak kami, tapi juga ke luar. Jadi menyenangkan, kalau saya mandi, istri saya duduk di kursi yang di pojokan itu. Lalu kami ngobrol sambil minum anggur. Bisa sampai satu jam. Kalau mandi sendirian, khan, pasti cepat karena bosan.

Tapi mengapa harus terbuka?

Saya memang tidak bisa tinggal di ruang tertutup. Jadi saya ke mana-mana kalau menginap di hotel, yang saya pastikan adalah kamar tersebut harus memiliki jendela. Walau pun pakai AC, tetap saja saya akan buka jendela itu walau sedikit. Namun keterbukaan bukan cuma kami terapkan pada kamar mandi saja, coba lihat rumah kami. Apa ada lemari yang tertutup? Semua saya bikin terbuka, supaya kalau ada yang berantakan bisa cepat-cepat dibereskan. Setiap teman istri saya yang ke sini bertanya, apa dia tidak takut hidup di rumah yang terlalu terbuka seperti ini. Kami hanya tertawa saja. Mungkin banyak orang yang menikmati hidup dengan banyak yang ditutup-tutupi.

Apa di Jepara tidak ada rayap? Karena di sini semua dibuat dengan kayu.

Rayap itu, ya, ada. Tapi begini, kita, khan, tidak perlu membuat segala sesuatu menjadi abadi. Yang baik itu membuat sesuatu berfungsi dengan baik saat diperlukan. Menurut saya paling tidak baik itu membuat sesuatu agar terus ada padahal kita sudah tidak menginginkannya lagi. Karena apa yang akan kita lakukan? Kita akan membongkarnya, bukan? Jadi ya, mengapa semuanya harus awet selama-lamanya? Toh, tidak ada yang abadi dalam hidup ini.

Apa yang ingin Anda sampaikan ke desainer Indonesia?

Kalau mau jadi desainer yang baik, kita harus menguasai satu hal. Misalnya ingin bisa mendesain kursi yang baik. Ya, sudah. Bikin saja kursi terus. Berkali-kali hanya membuat kursi. Jangan gampang tertarik pada semua hal. Ibaratnya itu, kalau kita mau merasakan nikmatnya minum air kelapa, kita harus manjat, ambil kepalanya dahulu. Lalu kita harus mengupas sabutnya yang tebal. Kita pecahkan batoknya, baru kemudian kita bisa meminum airnya dan memakan daging buahnya. Memang harus sabar kalau ingin merasakan nikmat yang sesungguhnya. Kalau baru mendesain kursi sekali, lalu sudah pindah ke produk lain, lalu pindah lagi, belum ahli di satu hal, kita sudah pindah lagi. Ya, malah tidak ahli-ahli.

Kenapa Anda tidak meneruskan usaha bapak Anda?

Bapak saya memiliki usahanya sendiri. Dia adalah pembuat mebel tradisional dan dia sudah merasa puas dengan hal itu. buat saya itu tidak cukup, saya ingin memiliki usaha saya sendiri di mana saya bisa banyak bereksperimen dan berinovasi. Itu yang kurang di Jepara.

Apa Anda bisa mengukir?

Tentu saja. Di Jepara, kalau sudah kelas enam SD tapi belum bisa cari uang dengan mengukir itu rasanya malu sekali.

Tapi Anda tidak memakainya lagi pada karya Anda saat ini.

Tidak ada yang sia-sia. Dengan belajar mengukir saya jadi mengerti urat kayu.

Apa Anda tidak khawatir orang akan mengatakan Anda tidak melestarikan budaya mengukir?

Budaya itu ada karena ada orang-orang berani yang mau berinovasi. Budaya justru mati jika kita hanya mengikuti leluhur kita.

Menurut Anda, Anda sukses?

Sukses itu bukan urusan saya. Tapi kalau pun saya tidak sukses, saya pasti dikenang karena saat orang-orang jalan lurus, saya belok ke kiri.

sunaryo3

 

Duduk, Aktivitas Yang Sering ‘Disepelekan’

Saat bicara tentang kursi, seringnya kita melupakan duduk itu sendiri.

pedagang Lombok
Pedagang di Lombok. Foto: koleksi Fabianus Koesoemadinata

Di akhir Workshop Tangan Jepara #2, para peserta workshop diharuskan untuk menghasilkan rancangan sebuah stool, yaitu wadah duduk tanpa sandaran. Lalu semua peserta membuat sketsa-sketa ide-ide mereka. Beberapa berkutat dengan bentuk, ada juga yang menitikberatkan pada konstruksi, juga ada yang menambahkan fitur-fitur pada fungsi sebuah stool.

DSC07325

DSC07326

Namun, apakah yang dimaksud dengan duduk itu sendiri?

Kita seperti dipaksa untuk berpikir mundur. Saat kursi-kursi ikonik telah diciptakan desainer-desainer top dunia, atau arsitek – Eames Chair, Mies Chair, Pantone Chair, Thonet Chair, dan sebagainya – seringnya kita memang lupa pada duduk itu sendiri. Kita lantas berbicara tentang elemen-elemen senirupa, bentuk, tekstur, warna, garis, dan sebagainya, bukan tentang duduk itu sendiri.

Namun mengapa kita menciptakan sebuah kursi? Siapakah orang pertama yang membuat kursi?

Ini adalah jawab Yahoo! untuk pertanyaan-pertanyaan tadi. Orang pertama yang membuat kursi diduga adalah Bob Peters pada tahun 1824. Siapa sebenarnya Bob Peters yang dimaksud di sini tidak dijelaskan. Namun, jawaban tadi menjadi tidak relevan karena Yahoo! juga menyimpan jawaban bahwa bangsa Mesirlah yang pertama kali membuat kursi, dan kursi pada saat itu terbuat dari batu besar. Pada saat berbicara tentang peradaban Mesir, sudah pasti tidak mungkin terjadi pada tahun 1824.

Jawaban itu mungkin tercatat karena kebetulan sejarah Barat lebih tercatat daripada sejarah Timur. Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Mungkinkah sudah ada kursi di zaman prasejarah Nusantara? Apa tidak ada kursi yang menjadi?

Mungkin saja memang tidak ada. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan sejarah industry mebel yang terpanjang di dunia, bisa disandingkan dengan Italia, Inggris, Skandinavia, atau Jepang. Namun jika kita melihat kembali budaya Nusantara, mungkin kita memang tidak menemukan gambaran leluhur kita duduk di sebuah kursi, kecuali para raja, itu pun mungkin hanya di suku tertentu.

Namun, pada umumnya, bangsa kita adalah bangsa lesehan. Orang-orang Dayak terkenal dengan tikar-tikar rotannya yang dianyam begitu indah, dengan segala motif dan identitas keluarga mereka. Itu menunjukkan jika tikar adalah benda penting bagi mereka, tempat mereka duduk dan mendudukkan permasalahan. Saya ingat sekali firma desain INCH dari Swedia yang pernah bekerja di Kalimantan mengatakan, “Bagaimana kami bisa membuat mebel di antara masyarakat yang tidak pernah menggunakan mebel?”

DSC07407
Tikar rotan Suku Dayak Tingalan, Nunukan. Foto: reproduksi dari Buku Plaited Arts From The Borneo Rainforest. Editor Bernard Sellato. Hal. 386
DSC07406
Macam-macam tikar rotan Suku Dayak Iban. Foto: reproduksi dari Buku Plaited Arts From The Borneo Rainforest. Editor Bernard Sellato. Hal. 343

DSC07405

Suku Sunda sampai saat ini masih begitu identik dengan kata lesehan itu sendiri, sehingga restoran-restoran Sunda masa kini pun masih memakai cara duduk lesehan. Pada presentasinya tentang budaya duduk, Fabianus Koesoemadinata menunjukkan budaya duduk orang Jawa melalui cara duduk para pemain gamelan dan sinden pada pertunjukannya. Semua personil duduk lesehan. Untuk meninggikan kedudukan mereka, untuk keperluan visual dan pertanda, mereka tidak diberikan kursi, melainkan dibuat sebuah platform yang lebih tinggi daripada lantai atau permukaan panggung.

Picture2

Dari foto-foto Yori Antar saat berkunjung ke Rumah Niang di Waerebo, terlihat pula semua warga duduk di lantai bersama-sama, mendengarkan para tetua adat mereka. Kita juga bisa melihat budaya duduk di lantai merupakan kebiasaan duduk di Sumatera dari pesta makan besar mereka, misalnya Makan Bajamba Suku Minangkabau. Semua duduk di lantai yang beralas, bukan di kursi.

2013102837

Kebiasaan duduk kita di lantai juga bisa dilihat dari banyaknya penggunaan dingklik di tempat-tempat kerja. Dingklik pada dasarnya mirip stool, hanya saja lebih rendah. Ini menunjukkan jika masyarakat lebih menyukai duduk rendah dekat dengan tanah, namun membutuhkan pengganjal di pantatnya agar kaki mereka tidak cepat pegal atau lelah.

bc kobo10

dingklik

Budaya duduk lesehan di Indonesia mirip dengan budaya duduk di tatami orang Jepang. sebagian besar orang Jepang, di masa modern ini, masih melestarikan duduk di lantai. Alih-alih melupakan tradisi ini, mereka bahkan mendesain kursi khusus bagi bangsa mereka sendiri. Kursi untuk tatami seperti itu salah satunya diproduksi BC Kobo yang workshopnya berlokasi di Jepara. Kursi semacam ini hanya memiliki ketinggian 20 cm.

Picture3

Di Indonesia, mungkin hanya dingklik mebel yang mengadaptasi budaya duduk kita. Selain itu, kita sudah terbiasa duduk di sofa, lounge chair, bar stool, stool, dsb.

Mungkin tidak ada salahnya jika kita berpikir mundur ke belakang sejenak, merefleksikan kembali budaya keseharian kita, dan merasakan dengan seksama apa itu aktivitas duduk, justru kita bisa menciptakan segala macam varian-varian yang tidak hanya berkutat pada masalah bentuk.Jika melihat bagaimana Jepang yang tetap melestarikan budaya duduk di tatami mereka dengan membuat kursi khusus, seharusnya kita tidak perlu khawatir akan kehilangan mata pencaharian sebagai desainer mebel karena mengakui jika jauh sebelum ada kursi, masyarakat kita sudah hidup dengan baik dengan duduk di lantai.

Mungkin dengan proses tersebut akan muncul jenis-jenis mebel baru, yang mungkin hanya akan laku di Indonesia tidak di negara lain. Mungkin di era tidak ada penemuan lagi ini, kita masih bisa menghasilkan sebuah inovasi yang bukan sekadar baru yang konsumtif, tapi baru yang dibutuhkan karena menyentuh permasalahan yang esensial, yaitu kebutuhan akan wadah duduk yang sesuai dengan kebiasaan dan ergonomis masyarakat Indonesia.

Industrialisasi Kriya Tradisional: Mungkin Tidak Selalu Buruk

Di sela muramnya industri mebel Jepara, terjadi praktik sistem industrial craft. Dan ini adalah sebuah contoh best practice.

bc kobo1

Balok dan papan kayu, kursi, meja, lemari, dipan, gebyok, bingkai cermin, jam, juga elemen dekoratif seperti relief dan patung. Itulah pemandangan di sepanjang jalan, di seluruh desa, di setiap rumah.

Tempat ini adalah Jepara, kabupaten di pesisir utara Jawa Tengah. Jauh dari hiruk-pikuk, namun banyak dikunjungi pengusaha-pengusaha mebel mancanegara. Sebaliknya, banyak orang Indonesia justru masih asing dengan Jepara. Desainer Indonesia pun masih banyak yang belum pernah ke Jepara. Memang banyak desainer yang tidak paham apa arti Jepara bagi dunia desain. Mungkin karena mereka pikir tukang-tukang di workshop mereka sudah cukup untuk memroduksi desain-desain mereka.

Jepara dikenal sebagai sentra ukir terbaik di dunia, rumahnya perajin-perajin ukir terhalus dan hal itu diakui produsen produk kayu dan desainer mancanegara. Tiap desa kemudian menjadi sentra-sentra kerajinan lagi berdasarkan jenis keterampilannya, sehingga ada desa yang hanya membuat patung, relief, ada yang hanya membuat dipan, atau gebyok.

Namun reputasi itu tercemar dengan mental mudah puas beberapa tukang– bukan perajin. Tentu saja tukang dengan perajin atau artisan harus dibedakan meski sama-sama disapa tukang kayu atau tukang mebel. Dalam tulisan ini, tukang didefinisikan sebagai pekerja yang bekerja sesuai order. Inilah yang membuat seorang tukang biasanya bekerja mengikuti apa kata pasar. Saat pasar ‘jatuh’, tukang-tukang ini memposisikan diri sebagai korban yang ikut terperosok. Tukang-tukang inilah yang menyumbangkan pandangan miring tentang Jepara, mulai dari malas, konvensional, dan sulit beradaptasi dengan desain baru, atau kualitas craftsmanship yang kasar.

Namun faktanya, perajin di Jepara masih banyak. Merekalah yang kerap berinovasi, menantang keterampilan tangan mereka untuk melampaui batasan. Banyak mebel-mebel baik yang terpajang di sepanjang jalan-jalan di Jepara. Beberapa mirip dengan mebel-mebel yang terpampang di majalah-majalah dekorasi luar negeri. Memang bukan rahasia jika banyak label luar negeri memroduksi mebelnya di Jepara.

Namun, karena dorongan berkreasi perajin biasanya berasal dari dalam diri, seringnya mereka kehilangan arah dalam mengembangkan keterampilan tangannya saat menghadapi desakan ekonomi. Di sinilah letak pentingnya desain. Bukan berarti perajin tidak memiliki kepekaan estetika, namun dalam era industri ini, mempertemukan craftsmanship dengan estetika industri, yang kemudian disebut desain, sudah menjadi kebutuhan.

Ini mengapa Himpunan Desainer Mebel Indonesia mengadakan Lokakarya Tangan Jepara untuk ke dua kalinya November lalu. Bambang Kartono, Ketua HDMI mengatakan permintaan pasar ekspor di era 90-an cenderung dikendalikan buyer asing sehingga perajin tidak memiliki posisi tawar, dan ini merugikan ekonomi perajin. Yang paling disayangkan, karakteristik produk juga tergiring mengikuti selera pasar global yang bersifat massal. “Jika saja potensi industri yang dimiliki Jepara dikelola dengan kemampuan desain sendiri sesuai keunikan skill yang berbasis hand made dan craftsmanship, saya yakin nilai tawar akan terdongkrak.”

Salah satu isu yang muncul di lokakarya ini adalah kemungkinan mengeksekusi kriya atau keterampilan ukir Jepara dengan sistem produksi industri. Jepara adalah sentra industri mebel, namun sistem produksinya belum sepenuhnya berjalan seperti industri. Masih banyak yang bersifat custom, dengan pengetahuan tacit yang masih melekat di tubuh.

Desainer pun sering belum bekerja menurut sistem produksi industri. Sebagian secara sadar menolak, sebagian lagi tidak melakukan karena tidak mengerti. Industri memang sering diartikan sebagai sesuatu yang jahat. Dalam hal desain, industri sering dianggap sebagai penghambat perkembangan dan pengekang kreativitas. Industri juga sering disederhanakan sebagai penjualan produk massal yang hanya bertumpu pada permintaan pasar.

Akan tetapi industri tidak selamanya harus dimaknai seperti itu. Di dalam industri, ada sistem yang bisa kita adaptasi. Memahami jika ada infrastruktur yang mendukung proses kreatifnya dan memanfaatkannya dengan benar sesungguhnya merupakan sebuah langkah dalam membangun industri. Sering kali desainer bukan tidak andal merancang, ia hanya tidak mengerti bagaimana merealisasikan konsepnya. Ini pula salah satu tujuan HDMI mengadakan lokakarya di Jepara, yaitu agar desainer memahami permasalahan material, teknik-teknik konstruksi mebel, dan keterampilan perajin.

bc kobo2

Satu langkah yang menunjukkan seorang desainer memahami sistem produksi industri adalah menyadari produk yang ia buat terdiri dari komponen-komponen (part) yang dirangkai (assembling). “Seringkali desainer tidak tahu berapa jumlah part (komponen) dalam produknya. Padahal mengetahui bahwa tiap produk terdiri dari berbagai komponen adalah langkah awal berpikir industrial,” ujar Harry Maulana, desainer senior dari Tigo design, narasumber Workshop Tangan Jepara 2.

Harry mencontohkan desainer yang sudah berpikir secara industri. “Saya bertanya kepada Singgih S. Kartono, desainer Radio Magno. Berapa jumlah komponen dalam satu radio? Dia menjawab, misalnya, seratus. Artinya dia paham konsep industri.” Harry, yang banyak merancang untuk industri elektronika  berpendapat desainer seharusnya mulai menghitung jumlah komponen sejak membuat sketsa, sehingga ia tahu berapa panjang line produksi yang dibutuhkan. Berapa perajin yang ia butuhkan: tukang kayu, tukang las, perajin anyaman, pengukir, tukang bubut, dst.

Apa yang dipikirkan Harry dan dilakukan Singgih adalah contoh best practice sistem produksi industri desain Indonesia yang berbasis kriya. Tiap produknya didesain dengan tetap mengandung unsur kriya dan dikerjakan dengan tangan. Namun proses produksinya tersistem seperti industri yang efisien dan terukur secara waktu dan kualitas.

Contoh best practice lain adalah workshop BC Kobo milik Sunaryo, yang menjadi tempat penyelenggaraan lokakarya ini. Workshop, yang biasa orang Jepara sebut dengan gudang, ini jauh dari citra kuno atau ndeso. Produk-produk yang dibuat di sini adalah mebel-mebel Jepang. Mendengar nama Jepang, kita bisa menduga kualitas produk di BC Kobo. Baik? Sangat. Kita tentu tahu proses QC (quality control) produsen Jepang terkenal sangat ketat.

bc kobo3

‘Gudang’ ini merupakan satu compound yang terdiri dari beberapa bangunan dengan fungsi ruang pemotongan, assembling, pengamplasan, tungku atau oven, kantor, pengecatan dan finishing, loker, ruang makan bersama, dst. sesuai banyaknya tahapan produksi.

Kita bisa lihat tiap komponen tertata rapi. Ada yang digantung, ada yang ditumpuk di dalam sebuah kotak. Semua dinamai dengan bahasa Jepang. Maka saat ingin membuat kursi yang sudah pernah dibuat, perajin tinggal memperbanyaknya komponennya. Beberapa komponen yang sering dipakai akan diproduksi secara reguler agar saat dibutuhkan bisa langsung dipakai. Hal ini jelas mempercepat proses produksi.

 

bc kobo8

 

bc kobo5

bc kobo6

 

bc kobo7

Mengapa hal ini dilakukan? Karena mebel BC Kobo bergaransi seumur hidup. Jadi komponen model kursi lama tetap harus diproduksi untuk kebutuhan renovasi. Ini mengapa sampai saat ini Sunaryo hanya mengerjakan mebel untuk BC Kobo. “Melayani satu perusahaan saja sudah kewalahan.” Akan tetapi memperbanyak perajin tidak ada dalam opsinya. Tidak boleh lebih dari 50 orang, menurutnya, agar kualitas produk mudah terkontrol.

Sebagai perajin Sunaryo punya peran penting dalam desain. Alur kerja pra-produksi seperti ini. Desainer membuat gambar desain mebel yang ingin dibuat. Lalu setelah disetujui, gambar-gambar tersebut di-email ke Sunaryo. “Di tahap terakhir saya akan memberi masukan bagaimana sebaiknya bentuk, konstruksi, material dan detail-detail mebel tersebut dari segi produksi.”

Terkadang Sunaryo juga mendesain, akan tetapi dengan cara yang sangat industrial. “Karena banyak komponen yang sudah jadi, maka kita tidak perlu mendesain dari nol. Hanya memodifikasi komponen-komponen dengan konfigurasi yang berbeda saja sudah menghasilkan bentuk yang baru.”

Artinya, ada common parts yang dipakai berulang kali. Produk-produk buatan label-label besar di luar negeri selalu memiliki common parts sehingga satu produk dengan produk sebelumnya terlihat senada. Terkadang mereka memakai common parts ini dalam satu serial mebel. Dan terkadang common parts inilah yang menjadi ciri khas sebuah label.

Prinsip ini adalah prinsip industri yang mengutamakan efisiensi. Karena proses R & D untuk mendapatkan satu komponen tidak mudah dan murah, maka industri besar biasanya mensyaratkan desain baru harus memakai komponen-komponen yang sudah ada, meski hanya satu atau dua komponen. Hal ini dilakukan agar komponen-komponen lama tidak dibuang begitu keluar desain baru.

_DSC9732

bc kobo10

bc kobo19

Sunaryo juga suka bereksperimen dengan tinggi kursi. Tinggi kursi Jepang umumnya lebih rendah daripada kursi pada umumnya, yaitu 20 cm untuk tatami dan 40 cm untuk duduk regular, karena kaki orang Jepang yang unik, dari pinggang ke lutut panjang, tapi dari lutut ke telapak kaki pendek. Lalu Sunaryo berkesperimen dengan tinggi di antara 20 dan 40 cm.

Untuk mengakali masalah supply kayu, Sunaryo selalu memastikan vendor-nya untuk mengirim total permintaan selama satu tahun penuh agar stok kayu bisa diatur. Papan-papan kayu yang tertumpuk di lahan bengkelnya adalah persedian sampai tahun depan. Hal ini penting mengingat mendapatkan kayu yang baik tidak mudah. Selain itu pelelangan kayu Perhutani tidak berlangsung sepanjang tahun. Kesiapan dalam hal stok material penting untuk menjaga keberlanjutan ritme produksi.

_DSC9740

bc kobo12

 

bc kobo13

Akan tetapi, karena mebel-mebel yang dibuat di sini memakai konstruksi laminated, maka ia tidak risau dengan semakin langkanyakayu tua. Ia juga tak pernah menganggap kayu-kayu yang bermata sebagai kayu jelek, karena semuanya bisa dipakai setelah digabungkan. “Kita tidak selalu membutuhkan kayu yang bagus. Terkadang kayu yang jelek juga berguna, tergantung cara memakainya.” Pemakaian kayu yang efisien membuat gudang ini minim sampah. Dalam beberapa hari baru menyisakan satu karung remahan kayu. Itu pun dipakai lagi untuk elemen kecil atau dijadikan bahan bakar oven.

bc kobo14

Sunaryo tidak hanya membangun sistem produksi, tapi juga seluruh managemen. Dalam hal ini Sunaryo punya pendekatan humanis. Ruang makan. Di sinilah semua masalah dibahas dan dipecahkan. Ruang makan yang terbuka, dengan dapur yang terbuka pula. Dengan makanan yang dimasak dengan kayu bakar, semua perajin dengan keterampilan yang berbeda makan bersama. “Ruang ini tidak kenal jabatan. Semua pekerja makan di sini, saya makan di sini, bos saya yang orang Jepang juga makan di sini.” Mengapa begitu? Supaya di ruang kerja, yang ada hanya bekerja. Maka ujung-ujungnya kembali ke masalah efektivitas dan efisiensi.

bc kobo16

Ini bukan sistem Jepang. Workshop Sunaryo memang memroduksi produk-produk BC Kobo, tapi semua sistem dirancang oleh Sunaryo. Namun ini juga bukan sistem Jawa, karena apa yang Sunaryo lakukan di gudangnya tidak ia adopsi dari tradisi pembuat mebel di Jepara.

Ini adalah contoh kriya industrial atau industrial craft. Kriya, karena dikerjakan secara manual. Tapi bersifat industrial karena sistem produksi berjalan seperti layaknya industri besar: ada line produksi, common part yang dipakai berulang kali, dan yang jelas, satu produk tidak dikerjakan satu orang.

bc kobo17

Sistem seperti ini bisa jadi alternatif dalam stagnannya industri mebel Jepara saat ini. Namun untuk mencapai kondisi ideal, desainer harus sadar jika kontribusi mereka bukanlah sekadar desain yang bagus, tapi kemampuan merancang sistem produksi secara keseluruhan atau mendesain produk yang mendukung atau memanfaatkan sistem tersebut. Bagaimana tercapai kolaborasi ideal dengan para perajin sekaligus mengoptimalkan keterampilan mereka adalah pekerjaan rumahnya.

Karena industri mebel Jepara berbasis kriya, maka tidak bisa serta-merta mengadopsi sistem industri konvensional seperti pabrik. Namun sistem produksi tradisional seperti perajin mebel yang sudah-sudah juga dirasa sudah mencapai titik jenuh. Memang ini hanya alternatif. Belum tentu berhasil jika diaplikasikan oleh semua perajin atau desainer. Namun tak pernah salah untuk mencari cara baru, seperti kata Sunaryo, “Budaya itu ada karena ada orang-orang yang berani bereksperimen.”

_DSC9789

Aspek Konteks Pada Wacana Fabrikasi Arsitektur

original_88649_g3NLYuyOYcx_4ALpVdQmY_mlX

oleh David Hutama

Tulang punggung dari kemampuan fabrikasi berkuantitas banyak (mass-production) di masa modern ini adalah metode assembly-line yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh Henry Ford, pendiri Ford Motor Company di tahun 1920-an. Assembly-line menggunakan alur fabrikasi secara berurutan (sequential) sehingga dapat menyelesaikan mobil berjumlah banyak dalam waktu singkat.  Metode ini bekerja melalui replikasi model dari seluruh elemen desain dan dikerjakan dengan urutan yang sudah distandarisasi. Oleh karena itu, relasi antara jumlah, waktu, dan kualitas dapat diprediksi dengan akurat, dan dengan sendirinya biaya operasional lebih murah.

Para arsitek pengusung modernisme seperti Le Corbusier menjadi pendukung metode fabrikasi dari Ford company ini (kemudian dikenal sebagai fordism atau pendekatan fordian). Le Corbusier berpendapat jika metode fabrikasi ini diterapkan pada arsitektur maka desain arsitektur akan mampu menyelesaikan banyak masalah sosial terutama masalah hunian. Oleh karena hunian dapat dibangun bisa dibangun dengan cepat dan banyak  dan murah (Kieran & Timberlake, 2004:6-7).

Namun setelah 1960-an, melalui revolusi kebudayaan yang kemudian kita kenal sebagai post-modernisme, kritik keras tentang keseragaman dan hilangnya identitas akibat fabrikasi berkuantitas banyak (mass-production) tersebut mulai banyak terdengar. Oleh karena itu, gerakan-gerakan pada masa ini kental mengangkat isu subyektifitas, identitas, dan pesonalisasi. Pada masa ini banyak lahir visi-visi desain yang memberontak dari realitas dan pakem. Fantasi tentang iregularitas, anti-gravitasi, mobilitas, dan keringanan diteriakan oleh para seniman dan desainer dalam wujud pameran atau karya-karya seni lainnya. Material-material seperti plastik, beton yang mempunya sifat ‘mudah dibentuk’ menjadi obyek eksperimen yang populer pada masa ini. (kolarevic, 2003: 13)

Pada masa tersebut, namun, jika menginginkan kebebasan berkesplorasi tersebut dalam alur fabrikasi yang ada pasti sulit terwujud, kalau bukan tidak mungkin. Selain keterbatasan pengembangan riset dan teknologi, fantasi tersebut, jika diwujudkan, menuntut perubahan-perubahan yang detail dan banyak sehingga dengan sistem yang umum saat itu (fordian assembly line), menjadi mahal dan lama serta tingkat kemungkinan kesalahan tinggi. Mahal dan lamanya adalah tidak lain karena perubahan-perubahan detail dengan permutasi yang tinggi menuntut terjaganya konsistensi informasi dari tiap elemen agar perubahan satu bagian diikuti dengan bagian lainnya namun tetap terjaga keutuhannya.

Masalah ini sebetulnya telah dipetakan oleh Christopher Alexander dalam buku “Notes on The Synthesis of Form” yang terbit tahun 1964, bahwa sistem selfconscious process, istilah yang digunakannya untuk menjelaskan sebuah sistem yang diatur oleh seorang master builder, akan mengakibatkan banyak masalah perancangan yang tidak terjadi pada sistem unconscious process (seperti pada arsitektur vernakular) karena masalah-masalah yang dihasilkan dinamis dan tidak stabil (Alexander, 1964: 59).

Lebih kurang 20 tahun kemudian, dalam BMW AG: The Digital Auto Project A, 1998, terbitan President/Fellows of Harvard College memperlihatkan adanya suatu metode fabrikasi baru pada manufaktur mobil BMW (Kieran & Timberlake, 2004: 20). Paparan ini memperlihatkan alur kerja simultan dan bukan runtut lagi seperti assembly-line. Alur kerja yang simultan ternyata mampu mempersingkat proses produksi sebuah mobil 20 bulan dibandingkan jika menggunakan alur kerja yang runtut. Hal ini memungkinkan dengan mengorganisasi elemen-elemen desain berbasis komponen dan dijaga dengan bantuan teknologi informatika yang baik. Dalam arsitektur perubahan alur kerja ini baru mulai menarik perhatian setelah Guggenheim Museum Bilbao karya Frank Gehry terbangun (tahun 1997) dan mendapat tanggapan positif. Peranti lunak yang menjadi tulang punggung eksplorasi desain kantor Gehry, CATIA menjadi sorotan (Corser, 2010: 179).

Kehadiran peranti lunak seperti CATIA, dan yang lainnya jelas menjadi penentu terwujudnya sebuah pendekatan desain yang berorientasi pada Perubahan masal (mass-customization) dan bukan melulu tentang Produksi Masal (Mass-Production). Teknologi informatika dari  peranti lunak tersebut mampu mengatur, memetakan dan menjaga lalu lintas dan konsistensi dari permutasi informasi yang tinggi – karena perubahan-perubahan yang berbasis pada komponen) – adalah modal vital dalam wacana fabrikasi desain ini (Kolarevic, 2003: 7). Teknologi NURBS (Non-Uniform Rational B-Splines) yang dikembangkan sejak tahun 1950-an oleh Pierre Bezier dari Renault dan Paul de Casteljau dari Citroen (keduanya dari Perancis) adalah titik tolak dari perkembangan teknologi infomatika ini.

Dengan teknologi ini maka memetakan informasi geometri non-euclidean dengan akurat menjadi tidak masalah. Kemampuan pemetaan ini berpengaruh besar pada wacana perancangan dan fabrikasi arsitektur. Dengan kemampuan kemampuan NURBS untuk menjaga konsistensi informasi (data) dari olahan geometri pada CAD (computer Aided Design) ke CAM (Computer Aided Manufacturing) membuat ‘revolusi’ – menurut Kieran & Timberlake – dalam wacana fabrikasi di perancangan arsitektur nyata. Wacana subyektivitas, Identitas, Personalisasi yang diungkap pada tahun 1960-an juga tidak berhenti menjadi wacana belaka lagi.

Walaupun demikian, ‘revolusi’  yang didengungkan oleh Kieran & Timberlake harus disikapi dengan kritis. Ada beberapa hal yang jika kita telusuri dengan teliti menjadi prasyarat keberhasilan wacana tersebut. Salah satunya adalah tentang konteks tempat dan budaya dari industri dan manufaktur tersebut. Bagaimanapun juga fabrikasi dan manufaktur tidak akan bisa dipisahkan dari kebijaksanaan dan keketatan dari kualitas standar produksi. Kelebihan dari proses fabrikasi seperti yang dikemukakan oleh Kieran & Timberlake, dan Kolarevic bersandar pada standar akurasi yang konsisten pada tiap aspek desainnya. Jika produksi dari material – sebagai salah satu aspek desain – yang digunakan sudah tidak mempunyai standar yang konsisten maka jelas proses fabrikasi tersebut percuma.

Hal ini sempat terjadi pada saat proses pelaksaan workshop Hexapanel di Jurusan Arsitektur UPH beberapa bulan yang lalu. Seluruh perencanaan dan perancangan yang telah dilakukan di CAD menjadi gagal diproduksi oleh alat CAM lasercutter karena ternyata material yang digunakan tidak mempunyai konsistensi ketebalan. Memang secara kasat mata mungkin tidak terlalu tampak karena pergeseran yang terjadi pada skala milimeter tapi jika dikalikan dengan kuantitas yang besar maka distorsi yang terjadi tidak kecil.

Dari kejadian tersebut saya berpikir bahwa wacana fabrikasi tersebut tidak mudah diterapkan pada tiap konteks. Apalagi pada suatu tempat dimana memang industri dan manufakturnya belum mempunyai kualitas standar  dan daya kontrol yang baik. Kita masi perlu memikirkan alur kerja yang terbaik pada konteks kita karena fenomena ini belum tentu sesuatu yang buruk juga. Bisa jadi ini adalah suatu potensi dari lahirnya suatu metode fabrikasi lokal yang baik. Terlepas dari semua itu, satu hal yang pasti adalah, kita tidak mungkin menghentikan apalagi menghindar dari kemajuan teknologi dan  wacana fabrikasi tersebut. Hal yang perlu kita lakukan adalah berpikir positif, kreatif dan tetap kritis untuk tetap bergerak maju tanpa tergilas mentah-mentah oleh pemikiran asing apa pun.

“The solution lies accordingly not in working against technical advance, but-in exploiting it for the benefit of all. Through technique man can be freed, if he finally realizes the purpose: a balanced life through free use of his liberated creative engines.” – laszlo Moholy-Nagy

 

Foto: Dani Hermawan

 

Referensi:

Alexander, Christopher, Notes on the synthesis of form, Harvard press, 1964

Kolarevic, Branko (ed), Architecture In The Digital Age: Design and Manufacturing, Spon Press, 2003

Kieran, Stephen & Timberlake, James, Refabricating Architecture: How Manufacturing Methodologies Are Poised to Transform Building Construction, McGraw-Hill, 2004

Corser, Robert (ed), Fabricating Architecture: Selected Readings in Digital Design and Manufacturing, Princenton Architectural Press, 2010

Circuit Stool

stool circuit1

 

Stool-stool warna-warni ini dirancang untuk memanfaatkan potongan-potongan kayu pinus yang berdimensi kecil. Dengan bagian atas/dudukan stool dibuat seperti sirkuit listrik, seperti namanya circuit stool 4legs, dan stool ini menjadi sangat playful.

Kita bisa melihat kerapian craftsmanship stool ini dari sudut-sudutnya yang sangat presisi dan potongan pada bagian atas yang sangat tipis.

stool_001_white_

 

stool_003_white

 

 

stool mdf bulat

Nama produk: Circuit Stool 4Legs

Desainer: Xr untuk rempah shop

Tahun: 2012

Material: kayu pinus, Mdf

 

IMG_8986

Menambah Nilai Keset

1

 

Banyak desainer saat ini keberatan saat desain diartikan sebagai added value, atau nilai tambah. Desainer berpikit jika desain adalah nilai kreasi itu sendiri, bukan tambahan.

Dalam kasus Keset Kibee, mahasiswa-mahasiswa desainer grafis Bina Nusantara memang berperan lebih sebagai penambah nilai apa yang sudah dilakukan oleh ibu-ibu Desa Pringapus, Ungaran, Jawa Tengah. Bisnis kerajinan keset dari kain-kain perca bekas industri garmen ini pun sudah dirintis jauh sebelum desainer mencemplungkan dirinya di komunitas ini. Inisiatornya pun seorang ibu rumah tangga bernama Rohprihatin.

Pada kasus ini namun bisa terlihat jelas apa perubahan yang dilakukan desainer terhadap produk dan ekonomi masyarakat. Desainer juga secara tidak langsung mengajarkan bagaimana caranya mengombinasikan warna dengan cara yang sangat sederhana kepada ibu-ibu di desa ini agar kesetnya bisa terlihat lebih menarik.  Bukankah pada akhirnya yang terpenting adalah bagaimana intervensi desainer jelas berkontribusi pada kemajuan pengguna jasa desainer?

lr gudang bahanbaku 2

lr gudang bahanbaku 4

154819_164078197072847_698982131_n

377663_164079393739394_1670807008_n

 

Selengkapnya tentang Keset Kibee bisa dibaca di artikel: Rohprihati, Keset “The Power of Kepepet”

lr pengrajin 3

 

405123_138654786281855_386352742_n

529780_165130363634297_1865179410_n

 

Nama produk: Keset Kibee

Perajin: Ibu-ibu di Desa Pringapus, Ungaran, Jawa Tengah

Material: kain perca bekas industri garmen

419904_169702613177072_1479228432_n

543546_164493230364677_973969698_n

Mainan Masa Kecil

1082232_190321084469904_1260151607_n

Fauzi Erick Dangin teringat pada mainan saat ia masih kecil. “Permainan zaman dulu itu ada yang bisa berubah-ubah bentuk kalau ditek. Lalu kalau ditekuk ke arah yang lain akan berubah bentuk lagi.”

Kursi ini dirancang untuk kompetisi Indonesia Furniture Design Award 2013. Saat itu kriteria yang diajukan oleh panitia adalah harus menggunakan kayu kelapa. Erick memilih sistem kontruksi yang terinspirasi dari mainnya sewaktu kecil dan sistem ini dinilai cukup baik oleh para juri sehingga ia berhasil meraih juara ke dua.

Erick membuat sistem joint yang secara tektonik sangat menarik. Dari yang awalnya berupa lembaran kayu, kemudian membentuk dudukan dan kakinya setelah ditekuk. Sambungan-sambungan kayu yang presisi inilah yang menjadi daya tarik kursi.

“Para juri bertanya, mengapa saya tidak menceritakan produk ini sebagai produk flatpack. Lho, saya memangtidak mikir ke situ, kok. Saya itu cuma mengingat mainan saya dulu,” ujar Erick.

Entah mengapa juri memberikan syarat pemakaian material kayu kelapa, yang pasti salah satu konsekuensi yang harus ia terima dari pemilihan kayu kelapa ini adalah kursi yang cukup berat. Akan tetapi kayu kelapa sangat kuat dan padat sehingga baik secara konstruksi.

erick

 

erick2

 

erick4

 

erick5

erick6

 

erik3

 

erick7

 

erick9

 

erick8

 

erick10

 

Nama produk:

Desainer: Fauzi Erick Dangin

Tahun: 2013

Material: Kayu Kelapa

Penghargaan: juara 2 IFDA 2013

Masih adakah yang baru di bawah matahari yang sama?

 

Saat itu tahun 2012, saya sedang berselancar dengan internet yang pada saat itu kecepatannya masih cukup cepat. Saya tiba pada satu halaman, yaitu good design award 2011. Di deretan penerima penghargaan desain untuk kategori mebel, saya pun melihat satu bench yang cukup familiar di memori saya. Sebuah bench untuk tiga orang dengan bentuk mirip huruf Y jika dilihat dari atas. Berbahan rotan dengan finishing warna abu-abu.

JeC Furniture Carpinteria

Susungguhnya, pertama kali saya melihat mebel ini adalah pada tahun 2010 di pameran yang diselenggarakan oleh majalah dewi. Kalau tidak salah waktu itu adalah awal tahun, yaitu sekitar Januari. Pameran bertempat di Eastmall Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Alvin Tjitrowirjo, desainernya, saat itu diundang untuk ikut dalam pameran tersebut bersama-sama dengan para finalis penghargaan desain yang diselenggarakan oleh majalah tersebut.

Dewi award  3

Namun itu bukan pertama kali saya melihat desain tersebut. Alvin sudah pernah mengirimkan sebuah katalog yang mempresentasikan desain itu di sekitar tahun 2009. Namun sat itu desain bench ini memakai material lain, mungkin fiberglass?, dan berwarna hitam. Memang bench yang dinamakan Mingle ini merupakan salah satu tugas kuliah Alvin yang terus ia kembangkan hingga akhirnya bermaterial rotan yang ia produksi di Yamakawa.

Namun yang sangat mengejutkan, rupanya bukan Alvin, desainer produk asal Jakarta yang saya kenal ini yang tertera pada situ resmi good design award 2011 ini, melainkan seorang desainer interior asal Amerika Serikat bernama Janice Feldman. http://www.chi-athenaeum.org/gdesign/2011/furniture/655.html  Nama bench yang saya kira adalah Mingle pun ternyata bernama Triad.

Saya kemudian bertanya kepada Alvin, apakah ia tahu ada bench yang mendapatkan penghargaan good design award yang sangat bergenggsi itu, yang sangat mirip dengan Mingle. Rupanya ia sudah tahu mengenai hal tersebut. Ia mengaku diberitahu oleh seorang teman perihal bench Triad yang mendapatkan good design award 2011. Ia mengaku kaget saat itu. Tapi saat saya berkunjung ke studio yang sekaligus butiknya, ia terlihat tenang.

Lalu kami berbincang tentang kesamaan desain. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Ada banyak kemungkinan mengapa banyak desain terlihat serupa pada saat ini. Yang pertama adalah kebiasaan mendesain dengan referensi. Tentu saja referensi selalu dibutuhkan, namun referensi yang sengaja atau tidak berpotensi membuat desain banyak orang menjadi serupa, bahkan ada yang sama, adalah referensi berupa gambar-gambar. Dari mana gambar-gambar atau foto-foto ini diperoleh? Tentu saja kebanyakan dari media, baik online atau cetak. Dengan budaya yang sudah serba bebas ini, kita bisa melihat apa yang dilakukan atau diproduksi di Negara di benua lain atau di desa pelosok sekaligus tanpa bersusah payah menuju ke sana.

Saya jadi ingat ada sebuah akun twitter yang SOP-nya hanya men-twit foto-foto karya arsitektur yang menurut adminnya keren, tanpa penjelasan lebih lanjut tentang konsep, siapa arsiteknya, bagaimana konsteks bangunan tersebut, dsb. Dan admin akun tersebut benar-benar mengajak arsitek atau mahasiswa arsitektur untuk dengan bahasa misalnya seperti ini: “Mentok saat mendesain? Lihat foto-foto arsitektur yang keren ini dulu, yuk!”

Ini mengapa banyak arsitek menolak untuk diliput karyanya. Mereka bilang, “Takut dicontek.” Meski, saya tahu arsitek-arsitek tersebut memiliki perpusatakaan yang cukup lengkap berisikan buku-buku dan majalah-majalah yang bukan hanya menampilkan foto, tapi juga gambar denah, tampak, potongan, bahkan sampai dengan gambar detail. Saya juga yakin mereka secara rutin melakukan ‘riset’ tentang proyek-proyek terbaru di luar negeri.

Rupanya Alvin justru merasa tak harus banyak bertanya-tanya tentang kesamaan desain antara Mingle dan Triad. “Itu memang desain yang sama,” menurutnya. Dan ia juga menganggap tidak ada gunanya menyalahkan referensi atau media dalam kasusnya. Sebaliknya, ia justru berpikir jika penjiplakan ini terjadi di wilayah yang paling dekat, yaitu pada produsennya.

Secara kasat mata memang hampir tidak ada yang berbeda dari Mingle dan Triad. Namun bagi saya, saya mengenal Mingle terlebih dahulu, jauh sebelum menangnya Triad di good design award 2011, maka saya tentu akan berpikir siapa yang lebih dulu sebagai siapa yang memiliki desain tersebut terlebih dahulu. Teman saya, Anissa S. febrina bahkan pernah menulis tentang Alvin dengan foto dia duduk di atas Mingle, dan artikel tersebut diterbitkan pada Agustus 2009.

p28-a2_1.img_assist_custom-400x300

http://www.thejakartapost.com/news/2009/08/20/alvin-tjitrowirjo-being-young-being-idealistic.html

Tidak seperti yang saya bayangkan bahwa Alvin lalu akan marah-marah dan meminta kasus ini diperbesar melalui media, ia justru tidak banyak berbicara. Mungkin kemarahannya sudah ia lampiaskan dengan cara lain. Ia hanya mengatakan akan segera meminta penjelasan dari produsen kursi tersebut. Dugaannya adalah produsen ini tidak hanya memroduksi produk-produk yang didesain untuk brand produsen tersebut, tapi ia juga memroduksi untuk brand-brand lain di banyak Negara, karena produsen ini adalah salah satu produsen mebel rotan terbaik di Indonesia, bahkan mungkin di seluruh dunia, karena kita tahu industri rotan Eropa sudah di penghujung usianya sejak Indonesia menghentikan ekspor rotan. Kita bisa membaca di situs resmi good design award 2011 jika Triad dikatakan diproduksi oleh JANUS et Cie, bukan produsen yang membuat Mingle.

Mungkin ini juga yang membuatnya begitu berhati-hati. Mungkin saya pun harus berhati-hati dengan adanya tulisan yang saya buat ini. Dan saya tahu banyak desainer akan memilih untuk tidak berkomentar mengenai hal ini.

Sementara itu, yang Alvin lakukan adalah meregistrasi desain-desainnya. “Saya hanya tidak mau jika saya mempertanyakan kasus tersebut, kemudian hal tersebut malah menjadi bumerang karena orang tersebut mendaftarkan desainnya, sementara saya tidak,” ujar Alvin.

Saat saya sempat hampir melupakan pembicaraan ini, Janice Feldman justru semakin gencar melakukan marketing akan bench Triad yang ia akui sebagai desainnya itu pada acara 100% design Singapore 2013 lalu. Ivan Christianto, desainer produk, yang tidak sengaja melihat bench ini di acara tersebut, terheran-heran mengapa bench yang begitu mirip dengan Mingle terpajang dengan nama lain.

Penjiplakan sudah pasti salah, dan jika ada aturan hukumnya, seharusnya bersifat pidana. Jelas. Namun bagaimana kita bersikap terhadap penjiplakan atau orang yang menjiplak seringnya masih kabur. Beberapa ada yang memilih untuk mengikhlaskan, beberapa lagi ada yang memilih untuk menempuh jalur hukum. Bagaimana kita bersikap terhadap pihak yang menjual desain pun biasanya sangat lemah dan permisif, terlebih jika pihak tersebut adalah produsen yang sangat kuat dan ingin kita ajak kerjasama.

Namun jika benar Mingle dan Triad diproduksi oleh produsen yang sama dengan cara si produsen menjual desain Alvin ke Janice, serta memperbolehkan Janice untuk mengubah nama produsennya menjadi JANUS et Cie, tentu menjadi begitu mengesalkan karena dalam hal ini Janice mendapat good design award 2011. Maka membuktikan hal tersebut menjadi penting.

Yang sangat mencurigakan dari Janice Feldman ini adalah ia tidak hanya mendapatkan good design award 2011 dari Triad, tapi juga dari Amari High Back Lounge Chair, yang tertulis juga diproduksi oleh JANUS et Cie, dan sangatlah mirip dengan salah satu kursi karya Yuzuru Yamakawa yang sangat legendaris.

JeC Furniture Carpinteria

http://www.chi-athenaeum.org/gdesign/2011/furniture/654.html

Kebetulan pertama kali saya melihat kursi ini bukan di butik Yamakawa yang baru dibuka sekitar tahun 2011, tapi di rumah Han Awal, seorang arsitek senior. Siang itu Han duduk santai hampir tertidur di kursi kesayangan yang ia bilang sudah ia miliki tahunan. Bandingkan Amari dengan CL-261 SET(RB)  Rest Chair karya Yuzuru Yamakawa ini. Mirip? Hanya mirip?

CL-261(RB)SET

http://www.yamakawa-rattan.co.jp/products/en/category/designer/cl-261-setrb.html

Dari dua kasus ini maka saya simpulkan Janice Feldman tidak sama dengan desainer-desainer yang masih mudah terpengaruh dengan desain-desain desainer idolanya sehingga kemudian karya-karyanya terlihat mirip. Lebih dari itu, ia berani mendaftarkan produk-produk miripnya itu untuk mendapatkan good design award. Saya rasa ini begitu hebat. Dashyat.

Dan pada saat saya baru saja berbicara seakan-akan desain yang tidak orisinal datang dari desainer-desainer muda yang masih mudah silau akan desainer-desainer idolanya, fakta membuktikan Janice bukanlah orang ‘hijau’ di industri desain, seperti yang tertulis pada situs resmi JANUS et Cie.

JaniceHeadShot_0

“Janice Feldman, president and CEO of JANUS et Cie, has been a leader in the design industry since the company’s founding 35 years ago. A trained artist and interior designer schooled in graphic arts and industrial design, Feldman is renowned as a business maverick, a champion of great design, and a visionary in the field of sustainability and material innovation. Feldman opened her first JANUS et Cie showroom in the Pacific Design Center in 1978, and has since built the company from the definitive source for site, garden, and lifestyle furnishings into a full-service design resource with extensive and varied collections. Feldman plays an integral role in product development and has created numerous award winning collections. Recent additions are Amari, Arbor, Boxwood, Capsule, Suki, Triad, Whisk and Whiskey.”

Maka di dunia yang masih percaya pada nama besar ini, yang memang wajar karena reputasi terbangun oleh rekam jejak, akan lebih mudah jika kita meyakini jika Triad memang dirancang oleh Janice, begitu pula Amari. Kalau pun mau diperkarakan karena kita meyakini salah satu di antara Alvin atau Janice pasti menjiplak, kita pasti akan sulit sekali menerima jika desainer kenamaan dari Amerika Serikat yang sudah senior tidak sungkan memakai desain seorang desainer yang jauh lebih muda darinya dan berasal dari Negara berkembang.

Namun segala kemungkinan itu ada. Mencontoh, bisa dengan cara memandang ke atas, tapi juga bisa dengan menoleh ke bawah, atau ke kanan dan kiri. Ini mengapa meski masih pemula atau muda, tidak pernah ada alasan bagi desainer muda untuk merendahkan dirinya di hadapan desainer senior. juga tidak pernah ada alasan bagi desainer pemula untuk tunduk takluk kepada produsen atau label besar, bahkan bertaraf internasional sekali pun. Mungkin saat ini kita juga tidak perlu sedemikian berkiblatnya kepada good design award yang begitu tersohor namun kurang teliti. Namun bisa dipahami betapa sulitnya meneliti semua desain yang ada di muka bumi ini jika publikasi minim.

Namun dalam kasus ini Alvin sedikit lebih beruntung. Alvin boleh saja berasal dari negara berkembang di mana industri desain belum mapan. Mungkin perjalanan Alvin di dunia desain juga tidak sepanjang Janice, tapi Alvin punya dokumentasi-dokumentasi pre-2011 yang membuktikan jika Mingle sudah diproduksi, bukan cuma sudah didesain, dan sudah dipublikasikan secara umum dalam pameran-pameran, dan kebetulan diliput oleh media. Setahu saya, tiap penghargaan seperti good design award itu hanya memperbolehkan desainer untuk mengikutsertakan produknya yang diproduksi dan rilis selama tahun yang sama. Artinya, jika Triad dan Amari mendapatkan good design award 2011, bisa diasumsikan Triad dan Amari diproduksi dan rilis pada tahun 2011.

Di era bebas ini, inilah salah satu hukum yang harus ditempuh. Siapa cepat mengaku, dialah yang diakui. Meski langkah ini bagi desainer atau arsitek bisa menjadi pisau bermata dua karena menjadikan karyanya rawan ditiru, namun rupanya peniruan tidak berhenti melalui media saja. Jadi, apa lagi alas an untungnya menyimpan rapat-rapat desain untuk diri sendiri?

Dengan demikian, dokumentasi menjadi sangat penting. Kalau pun desain kita dijiplak bahkan dicuri sekali pun, setidaknya ada dokumen-dokumen yang membuktikan keabsahan desain kita. Sehingga kita bisa mengatakan, “Jauh sebelum produk kamu ada, produk saya sudah diliput oleh media. Dan inilah buktinya.”

 

 

Empat Jalan Mencuri Desain:

1. produsen

Dalam kasus Triad, jika benar, Janice Feldman tidak perlu terlalu banyak membaca majalah atau website desain untuk bisa mendapatkan ‘inspirasi’, tapi ia cukup datang atau menghubungi produsen, lalu minta diproduksikan produk yang ia sukai. Tentu saja ia bisa sedikit kreatif dengan mengatakan, “Warna abu-abu rasanya lebih bagus.” Maka pastikan anda bekerjasama dengan pabrik yang jujur, atau setidaknya buatkan kontrak yang tegas, sehingga anda pasti menang secara hokum jika ada hal-hal yang tidak dihendaki terjadi.

2. klien atau konsumen

Saya ingat teman saya bercerita. Saat ia mengantarkan produk mebelnya ke rumah konsumen, ia melihat ada begitu banyak kursi di rumah tersebut dalam jumlah satuan. Kira-kira mengapa begitu? Apakah ia seorang kolektor? Atau ia memang tidak menyukai hal-hal yang sifatnya satu set? PIkiran terburuknya adalah, “Jangan-jangan ia sedang mengumpulkan desain-desain yang ia suka untuk dijadikan sebagai prototype. Jangan-jangan ia ingin memroduksi ulang kursi-kursi tersebut.”

Kemungkinan itu ada. Kalau mau jujur, kita pun sering melakukan hal seperti itu. Datang ke rumah teman atau ke sebuah kafe, lalu suka dengan sesuatu yang ada di situ, lalu kita mengatakan, “Saya mau, ah, bikin seperti itu juga.” Saat desain kita sudah ada di rumah atau di tempat lain, tidak ada lagi yang bisa mengontrol apa yang akan terjadi setelah itu.

3. media

Media selalu menjadi tersangka dalam tiap penjiplakan. Walaupun terkadang selalu ada cara yang lebih mudah untuk menjiplak, namun media tetap menjadi tersangka utamanya. Mungkin memang seperti itu cara kerja desainer atau arsitek: melihat-lihat referensi. Maka jangan heran kalau mereka yang begitu terpengaruh apa yang ia baca dan lihat, kemudian ketakutan karyanya diliput oleh media.

4. teman

Well, who knows.

 

 

Karena jalan untuk mencuri desain begitu banyak, maka inilah sikap-sikap desainer:

  1. Meregistrasi tiap desainnya dan hanya mau memublikasian karyanya dengan cara tertentu yang bisa ia kontrol.
  2. Membuat desain dengan detail tertentu yang membutuhkan teknik dan craftsmanship tertentu, sehingga hanya ia yang bisa membuatnya, atau setidaknya begitu sulit ditiru. Maka penjiplakan akan mentok pada bentuk, bukan kualitas desain itu sendiri.
  3. Segera secepat mungkin mempublikasikan tiap desainnya agar meskipun mungkin dijiplak, tapi orang tahu siapa yang pertama kali membuat desain itu. Kesadaran ini sudah dimiliki desainer-desainer di Negara yang industry desainnya sudah kuat. Mereka selalu memiliki dokumentasi karyanya dengan rapi dan baik, dan selalu berusaha membuat karyanya sebanyak mungkin terpublikasi oleh media.
  4. Ikhlaskan. Ada desainer-desainer yang pada akhirnya selalu membuat edisi terbatas. Maka ia merasa jika desainnya ditiru, ia tak perlu pusing karena ia sudah sibuk dengan desain yang baru. Hal ini juga diyakini oleh Kurt Schutz, pemilik Aida Rattan. Ia yang dulunya selalu meregistrasi produknya, kemudian menganggap hal yang terpenting bukan menutup diri, namun bekerja sama dengan sebanyak-banyaknya desainer. Sehingga jika satu produk ditiru, ia selalu memiliki produk baru yang lain.

Suvenir Borobudur

 

Candi Borobudur telah diakui sebagai world heritage oleh UNESCO. Namun langkah penyelamatan cagar budaya ini tidak berhenti pada bangunan candinya saja, tapi juga pada komunitas-komunitas di sekitar candi.

Masyarakat Magelang dikenal dengan berbagai macam keterampilan kriya yang cukup tinggi. Salah satunya adalah kemampuan membuat  gerabah dengan teknik tradisional. Ananta Sutopo, mendesain beragam cenderamata untuk UNESCO dengan tema Borobudur. Produk-produknya menggabungkan selera estetika masa kini dengan teknik tradisional dan dikerjakan oleh masyarakat setempat.

Borobudur_3One of the series is inspired by clay Stupikas that were discovered in a pit to the southwest of Borobudur. This distinct form inspired the Sake set for individual serving. Perfect for Sake and other beverages.

 

Borobudur_4Inspired by the stupa of Borobudur with concentric Lotus petals on its base, the dinnerware set capture this iconic feature on its design.

 

 

Borobudur_2The tea time set offers a simple, functional drinkware for those who enjoy the convenience in the late afternoon time. The recess on tray allow the cups and snacks rest during serving.

 

Borobudur_5A simple canister not only used for storing items, but also as vase/planters.

 

Borobudur_1Jigsaw puzzle of Borobudur symbols is a fun educative tools for children to recognize different symbols found in Borobudur.

 

 

Nama produk: serial suvenir Borobudur (komisi dari UNESCO)

Desainer: Ananta Sutopo

Tahun: 2013

Material: keramik, kayu jati

 

 

Lampu Labu

Aga_5

Lampu ini adalah salah satu produk dari koleksi Aga series yang dikeluarkan oleh Jenggala ceramic. Bentuk lampu terinspirasi oleh bentuk buah labu. Dengan lubang-lubang kecil, cahaya akan turun langsung ke bawah sekaligus terpendar dari lubang-lubang tersebut.

Lampu ini dapat diperlakukan sebagai satuan atau serial, dengan pilihan warna putih, cokelat, dan merah.

Jnggl_Aga2

Aga series : tableware and accessories inspired by the true Bali village – Tenganan. Great collaboration with all Jenggala design team and artist Davina Stephens, NZ.

 

 

Nama produk: lampu Aga series

Desainer: Ananta Sutopo

Brand: Jenggala

Tahun: 2011

Material: keramik, tali

 

Estetika Tiada Batas

2d13f8_cd0c1728e10b4f48ab29fcb1d115663d.jpg_srz_383_383_85_22_0.50_1.20_0.00_jpg_srz

2011 lalu, Label jam tangan asal Italia, BREIL, bekerjasama dengan design boom mengadakan kompetisi desain untuk koleksi tambahannya. Amelia Rachim yang turut serta dengan rancangannya yang bernama “Endless” menjadi satu dari tiga pemenang kompetisi ini.

Desain jam tangan yang bernama “Endless” menjawab tantangan kriteria yang diajukan BREIL, yaitu mempresentasikan sebuah rancangan jam tangan analog dengan bahan stainless steel yang menarik namun feasible. Dengan logika yang sangat sederhana dan mudah diproduksi, keindahan Endless telah memikat hati para juri: Fabia Novembre, Chris Bosse dari LAVA architects, Nika Zupanc, industrial designer dari Slovenia, Marcello Binda, CEO Binda Italia, dan Brigit Lohmann, editor in chief designboom.com.

Malam penganugrahan penghargaan kompetisi ini diselenggarakan bersamaan dengan Milan design week 2012.

 

2d13f8_b229a1a20e1b4c0b9ac7f58f8550a28c.jpg_srz_383_383_85_22_0.50_1.20_0.00_jpg_srz

 

 

2d13f8_02f3a9d54df348d3aec6bfff82e89549.jpg_srz_383_383_85_22_0.50_1.20_0.00_jpg_srz

Nama produk: Endless

Desainer: Amelia Rachim

Brand: BREIL

Tahun: 2011

Material: stainless steel

Zamrud Khatulistiwa

2d13f8_92b91d683f7677ff62225911a8bc98f0.jpg_srz_383_383_85_22_0.50_1.20_0.00_jpg_srz

 

Zamrud Khatulistiwa adalah sebutan untuk Indonesia karena letaknya yang melintang di garis khatulistiwa dengan hamparan hutan yang hijau. Begitulah bagaimana Amelia Rachim, desainer perhiasan yang kini tinggal di Italia, mengingat negara asalnya.

Ia mendesain Cincin Zamrud Khatulistiwa untuk label Mejuri, sebuah label perhiasan di Kanada yang berbasis web, adalah kaki burung yang terbuat dari perak dengan lapisan emas 18 karat yang mencengkram batuan kristal Swarowski berwarna hijau.

2d13f8_be6fd0ea0d55393b26197ba067ef172d.jpg_srz_383_383_85_22_0.50_1.20_0.00_jpg_srz

We send you some tropical islands’ warmth in a fabulous ring design. ‘Zamrud Khatulistiwa’ means ‘Emerald of the Equator’ in the Indonesian language. Feel the beauty of golden sunshine, green tropical forest, and exotic animals while wearing it. Feel elegant and be wild at the same time.

 

mejuri

 

Nama produk: Zamrud Khatulistiwa ring

Desainer: Amelia Rachim

Brand: Mejuri

Tahun: 2013

Material: perak berlapis emas kuning 18 karat, batu kristal Swarowski

Mebel-Mebel Di Prawirotaman

Sebagai sebuah kampung yang telah berkembang sejak abad ke-19, pasti sudah begitu banyak mebel-mebel yang berganti di Prawirotaman. Mulai dari mebel-mebel bergaya Jawa, atau kebarat-baratan, juga mungkin mebel-mebel bergaya modern atau mebel hasil pabrikan yang banyak dijual umum dengan harga yang relatif murah.

Di bawah ini adalah beberapa mebel yang ditemui di sekitar Jl. Prawirotaman 1 dan Prawirotaman 2.

IMG_0377Sebuah bangku besi di teras sebuah penginapan sederhana. Struktur utamanya terbuat dari pipa besi bundar kopong, dan di sela-selanya diisi oleh batang-batang besi. Dudukannya terlihat sudah hampir amblas, dengan cushion dari kain sejenis beludru yang sudah usang.

IMG_0353Satu set kursi dan meja bundar. Semua strukturnya, dudukan kursi, dan permukaan meja menggunakan kayu papan. Sementara sandaran kursi terbuat dari anyaman rotan alami. Set mebel ini diletakkan di teras sebuah rumah yang pasti terkena tampias ketika hujan. Sandaran rotannya terlihat sudah terburai. Mungkin kursi-kursi ini sudah berumur puluhan tahun dilihat dari kondisinya. Namun karena modelnya cukup klasik, modern jika dilihat dari lengkungannya, tapi juga terlihat vernakular, mebel seperti ini tidak terlihat usang. Mebel seperti ini mungkin tidak mengenal tren, walau tentu saja sulit ditemui pada furniture fair terkini.

IMG_0359Sebuah bangku yang sangat umum, sangat minimalis. Kita sering memanggilnya sebagai bangku sekolah karena kebanyakan sekolah, khususnya sekolah negeri, memakai bangku seperti ini. Yang terpenting pada bangku ini adalah bisa berdiri dengan kuat. jika dilihat mungkin bangku seperti ini tak selalu diukur mengikuti standar ukuran ergonomis. Tinggi sandarannya, lebar dudukannya, semua seperti dibuat asal bisa duduk. Tapi bangku seperti ini memang selalu bisa diterima.

IMG_0346Sepasang sofa kayu sederhana dengan upholstery yang terbungkus kulit. Sofa-sofa ringan seperti ini sangat umum dan mungkin ada di setiap rumah-rumah tahun 1970-an dan 1980-an.

IMG_0387Sebuah bangku bambu yang seharusnya muat untuk tiga orang di pinggir jalan Prawirotaman 1. Bangku seperti ini adalah desain bangku bambu yang paling umum. Sepertinya jika kita menyebut bangku bambu, maka bangku seperti inilah yang muncul di benak kita. Sambungan-sambungan bambu bangku ini mulai lepas. Memang umumnya kekurangan bangku seperti ini ada pada sambungannya.

IMG_0390Sebuah kursi kayu dengan upholster berbahan kulit berkapasitas dua sampai tiga orang. Dari gayanya terlihat banyak terpengaruh langgam-langgam dari barat. Meski sederhana ukiran minim di kakinya, dan detail paku-paku berwarna keemasan yang mengikat kulit dengan kayunya membuat kursi ini terkesan ingin terlihat mewah dan mahal.

kursi besi ijo

Sebuah kursi yang sangat modern. semua bagiannya terbuat dari besi, baik itu berupa pipa, atau lempengan. Ujung kakinya ditutup oleh plastik putih agar tidak slip atau menyebabkan bunyi kencang saat menghantam permukaan lantai, atau merusak lantai.

Di baliknya adalah sebuah laci kayu yang bisa memainkan persepsi kita, apakah benda ini bisa diduduki, atau diperlakukan seperti meja kecil (side table) atau drawer?

 

 

rotan chicKursi rotan di teras salah satup enginapan di Prawirotaman 2 ini sangat elegan, sangat terlihat mewah, sangat ‘gaya’, memiliki bentuk yang sangat menarik. Kita bisa menyebutnya kursi seperti ini adalah kursi yang menyatakan kelas sosial seseorang.

tali plastikJika Anda hidup di era 80-an, Anda pasti tahu betapa hits-nya kursi besi dengan lilitan karet seperti yang ada di sebuah teras penginapan di Prawirotaman ini.

bangku ada asbakDesain kursi kayu ini sangat umum di daerah Jawa. Namun jika kita lihat ukirannya, kita akan tahu ada sesuatu yang berbeda. Ia memadukan motif floral dan geometris sekaligus. Memang hasilnya agak sedikit kaku.

street furnitureSebuah street furniture di salah satu gang di Jl. Prawirotaman 2.

 

galiKursi langsing yang mengkombinasikan besi dengan rotan ini terlihat sangat kontemporer. Meski saya tahu kursi-kursi ringan seperti ini mudah ditemui di pasar-pasar loak di sekitar Jawa Tengah. Warna dan tambahan teks “Gali” pada dudukannya membuat kursi ini terlihat menyenangkan. Tidak heran banyak desainer masa kini banyak yang membuat kursi-kursi seperti ini.

3rotanTiga kursi rotan. Bandingkan dengan kursi rotan sebelumnya yang lebih stylish. Dengan melihatnya saja kita tahu mereka berbicara tentang kelas sosial yang berbeda.

cover mebelBentuk kursi ini memang menarik. Tapi hal yang paling mengesankan dari kursi ini adalah dudukannya yang sangat membal.

plastik putihSepasang kursi plastik dengan meja plastik di antaranya. Itu adalah gambaran yang sangat umum tentang sebuah teras di rumah-rumah di Indonesia, khususnya di daerah suburban. Namun lihatlah bagaimana pemilik penginapan ini memakaikan taplak di mejanya. Manis, bukan?

Artikel ini diambil dari teman kami: http://prawirotaman2.wordpress.com/2013/11/02/mebel-mebel-di-prawirotaman/

Kursi-kursi yang belum sempat ditampilkan:

upholster merah

besi+kayu

tali ijo

dingklik plastik

Prawirotaman 2

A topnotch WordPress.com site

Gitahastarika's Weblog

Just another WordPress.com weblog