Tag Archives: budaya duduk

Duduk, Aktivitas Yang Sering ‘Disepelekan’

Saat bicara tentang kursi, seringnya kita melupakan duduk itu sendiri.

pedagang Lombok
Pedagang di Lombok. Foto: koleksi Fabianus Koesoemadinata

Di akhir Workshop Tangan Jepara #2, para peserta workshop diharuskan untuk menghasilkan rancangan sebuah stool, yaitu wadah duduk tanpa sandaran. Lalu semua peserta membuat sketsa-sketa ide-ide mereka. Beberapa berkutat dengan bentuk, ada juga yang menitikberatkan pada konstruksi, juga ada yang menambahkan fitur-fitur pada fungsi sebuah stool.

DSC07325

DSC07326

Namun, apakah yang dimaksud dengan duduk itu sendiri?

Kita seperti dipaksa untuk berpikir mundur. Saat kursi-kursi ikonik telah diciptakan desainer-desainer top dunia, atau arsitek – Eames Chair, Mies Chair, Pantone Chair, Thonet Chair, dan sebagainya – seringnya kita memang lupa pada duduk itu sendiri. Kita lantas berbicara tentang elemen-elemen senirupa, bentuk, tekstur, warna, garis, dan sebagainya, bukan tentang duduk itu sendiri.

Namun mengapa kita menciptakan sebuah kursi? Siapakah orang pertama yang membuat kursi?

Ini adalah jawab Yahoo! untuk pertanyaan-pertanyaan tadi. Orang pertama yang membuat kursi diduga adalah Bob Peters pada tahun 1824. Siapa sebenarnya Bob Peters yang dimaksud di sini tidak dijelaskan. Namun, jawaban tadi menjadi tidak relevan karena Yahoo! juga menyimpan jawaban bahwa bangsa Mesirlah yang pertama kali membuat kursi, dan kursi pada saat itu terbuat dari batu besar. Pada saat berbicara tentang peradaban Mesir, sudah pasti tidak mungkin terjadi pada tahun 1824.

Jawaban itu mungkin tercatat karena kebetulan sejarah Barat lebih tercatat daripada sejarah Timur. Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Mungkinkah sudah ada kursi di zaman prasejarah Nusantara? Apa tidak ada kursi yang menjadi?

Mungkin saja memang tidak ada. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan sejarah industry mebel yang terpanjang di dunia, bisa disandingkan dengan Italia, Inggris, Skandinavia, atau Jepang. Namun jika kita melihat kembali budaya Nusantara, mungkin kita memang tidak menemukan gambaran leluhur kita duduk di sebuah kursi, kecuali para raja, itu pun mungkin hanya di suku tertentu.

Namun, pada umumnya, bangsa kita adalah bangsa lesehan. Orang-orang Dayak terkenal dengan tikar-tikar rotannya yang dianyam begitu indah, dengan segala motif dan identitas keluarga mereka. Itu menunjukkan jika tikar adalah benda penting bagi mereka, tempat mereka duduk dan mendudukkan permasalahan. Saya ingat sekali firma desain INCH dari Swedia yang pernah bekerja di Kalimantan mengatakan, “Bagaimana kami bisa membuat mebel di antara masyarakat yang tidak pernah menggunakan mebel?”

DSC07407
Tikar rotan Suku Dayak Tingalan, Nunukan. Foto: reproduksi dari Buku Plaited Arts From The Borneo Rainforest. Editor Bernard Sellato. Hal. 386
DSC07406
Macam-macam tikar rotan Suku Dayak Iban. Foto: reproduksi dari Buku Plaited Arts From The Borneo Rainforest. Editor Bernard Sellato. Hal. 343

DSC07405

Suku Sunda sampai saat ini masih begitu identik dengan kata lesehan itu sendiri, sehingga restoran-restoran Sunda masa kini pun masih memakai cara duduk lesehan. Pada presentasinya tentang budaya duduk, Fabianus Koesoemadinata menunjukkan budaya duduk orang Jawa melalui cara duduk para pemain gamelan dan sinden pada pertunjukannya. Semua personil duduk lesehan. Untuk meninggikan kedudukan mereka, untuk keperluan visual dan pertanda, mereka tidak diberikan kursi, melainkan dibuat sebuah platform yang lebih tinggi daripada lantai atau permukaan panggung.

Picture2

Dari foto-foto Yori Antar saat berkunjung ke Rumah Niang di Waerebo, terlihat pula semua warga duduk di lantai bersama-sama, mendengarkan para tetua adat mereka. Kita juga bisa melihat budaya duduk di lantai merupakan kebiasaan duduk di Sumatera dari pesta makan besar mereka, misalnya Makan Bajamba Suku Minangkabau. Semua duduk di lantai yang beralas, bukan di kursi.

2013102837

Kebiasaan duduk kita di lantai juga bisa dilihat dari banyaknya penggunaan dingklik di tempat-tempat kerja. Dingklik pada dasarnya mirip stool, hanya saja lebih rendah. Ini menunjukkan jika masyarakat lebih menyukai duduk rendah dekat dengan tanah, namun membutuhkan pengganjal di pantatnya agar kaki mereka tidak cepat pegal atau lelah.

bc kobo10

dingklik

Budaya duduk lesehan di Indonesia mirip dengan budaya duduk di tatami orang Jepang. sebagian besar orang Jepang, di masa modern ini, masih melestarikan duduk di lantai. Alih-alih melupakan tradisi ini, mereka bahkan mendesain kursi khusus bagi bangsa mereka sendiri. Kursi untuk tatami seperti itu salah satunya diproduksi BC Kobo yang workshopnya berlokasi di Jepara. Kursi semacam ini hanya memiliki ketinggian 20 cm.

Picture3

Di Indonesia, mungkin hanya dingklik mebel yang mengadaptasi budaya duduk kita. Selain itu, kita sudah terbiasa duduk di sofa, lounge chair, bar stool, stool, dsb.

Mungkin tidak ada salahnya jika kita berpikir mundur ke belakang sejenak, merefleksikan kembali budaya keseharian kita, dan merasakan dengan seksama apa itu aktivitas duduk, justru kita bisa menciptakan segala macam varian-varian yang tidak hanya berkutat pada masalah bentuk.Jika melihat bagaimana Jepang yang tetap melestarikan budaya duduk di tatami mereka dengan membuat kursi khusus, seharusnya kita tidak perlu khawatir akan kehilangan mata pencaharian sebagai desainer mebel karena mengakui jika jauh sebelum ada kursi, masyarakat kita sudah hidup dengan baik dengan duduk di lantai.

Mungkin dengan proses tersebut akan muncul jenis-jenis mebel baru, yang mungkin hanya akan laku di Indonesia tidak di negara lain. Mungkin di era tidak ada penemuan lagi ini, kita masih bisa menghasilkan sebuah inovasi yang bukan sekadar baru yang konsumtif, tapi baru yang dibutuhkan karena menyentuh permasalahan yang esensial, yaitu kebutuhan akan wadah duduk yang sesuai dengan kebiasaan dan ergonomis masyarakat Indonesia.