SOUSUKE & Furyu

Oleh David Hutama

“Cherry blossoms are to be preferred not when they are at their fullest but afterward, when the air is thick with their falling petals and with the unavoidable reminder that they too have had their day and must rightly perish.”– Donald Richie

Cat:

  1. Tulisan ini akan memaparkan tiga kisah; 1) Sousuke, 2) Furyu dan, 3) Primitif.
  2. Tulisan ini bukan bersifat reportase tapi adalah sebuah ulasan yang bermuara pada wacana estetika Arsitektur Jepang.

Kisah satu : SOUSUKE

Sousuke Fujimoto atau lebih dikenal sebagi Sou Fujimoto mungkin adalah seorang arsitek muda Jepang paling populer saat ini. Pendidikan arsitekturnya ditempuh di Universitas Tokyo dan dalam rentang praktiknya selama 14 tahun (Sou Fujioto pertama kali membuka kantor sendiri pada tahun 2000), paling tidak ada sembilan penghargaan yang diterimanya. Prestasi istimewa bagi seorang arsitek muda. Sampai saat ini, ada sembilan proyek yang terpublikasikan. Karya awalnya Wooden House banyak menarik perhatian kritikus dan media namun karyanya untuk Galeri Serpentine di London tahun 2013[1] ini yang telah memposisikan dirinya sebagai arsitek papan atas.

Presentasinya yang berjudul New Way of Embracing Architecture menjelaskan bagaimana dirinya berarsitektur. Relasi antara dua hal yang sering diletakkan bersebrangan seperti; bangunan vs lansekap, Ruang Dalam vs Ruang Luar justru dipahami sebagai yang tak terpisahkan.

Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Hokaido, kesukaannya dengan alam dan pemandangan tidak bisa lepas dari kesehariannya di pulau tersebut. Pulau Hokaido, salah satu pulau utama yang terletak di Utara kepulauan Jepang, memang terkenal dengan alam dan pemandangannya. Namun apa yang dipahami oleh Fujimoto ternyata bukan pada dimensi rupa dan bentuk tetapi relasi. Dia menjelaskan bahwa kepadatan dan keramaian yang terjadi di Tokyo, suasana yang berbeda jauh dari kampung halamannya, tetap bisa memberikan kenikmatan bagi dirinya. Ada kesamaan yang terjadi dan hadir pada dua tempat yang sepintas demikian berbeda. Kota Tokyo, bagi Fujimoto, juga menawarkan kualitas ruang yang sama dengan kampung halamannya. Keramaian yang hadir dipahaminya sebagai komposisi dari elemen-elemen kecil yang berfungsi sebagai batas ruang. Hal ini seperti layaknya dedaunan rimbun pada pepohonan.

Sou Fujimoto menempatkan relasi sebagai elemen penting dalam wacana berarsitektur. Hal ini mengingatkan saya akan konsep matematika ‘fraktal’, tentang keberadaan pola dari suatu komposisi yang terkesan tak terpola. Konsep tersebut berangkat dari pemahaman bahwa pola ada dimana-mana hanya keterbatasan kita – baik itu secara visual ataupun pemahaman – yang membuatnya ada atau tidak. Pemahaman akan “relasi” yang menjadi titik tolak Fujimoto melihat pola tersebut.

Kata “Fuukei” yang berarti Pemandangan, jika diartikan secara bebas. Namun dalam bahasa Jepang, pemahaman dari pemandangan bukan sebagai obyek tetapi sebagai ‘relasi’. Bagaimana seluruh elemen-elemen alam berdialog dan hadir. Paparan tentang kata “fuukei” seakan menegaskan paradigmanya. Bagi Sou Fujimoto, kekuatan dari relasi ini yang akan menjadi kualitas arsitektur seperti pada kata “Fuukei” tadi. Suatu kualitas estetika yang tidak semuanya terjelaskan – selalu ada ruang untuk misteri – yang mendorong kita untuk mengapresiasi jeda dan ketenangan.

Kisah dua : furyu

 

Estetika Jepang adalah tentang Etika. Etika bukan dalam arti semata bagaimana manusia berelasi dengan sesamanya tetapi dengan seluruh alam semesta. Dalam buku A Tractate On Japanese Aesthetics, Donald Richie menjelaskan bahwa IKI adalah sebuah kualitas moral yang menjadi muara dari seluruh upaya pelatihan fisik dan jiwa sepanjang hidup. Salah satu kualitas yang dianggap mampu mendekati IKI ini adalah kualitas elegan atau Furyu.

Kualitas elegan ini dipengaruhi oleh dua aspek; aspek dari dalam diri yang disebut AWARE dan dari luar diri yaitu YUGEN. AWARE hadir dalam wujud emosi yang terkontrol sedangkan YUGEN ada pada karisma misteri yang terjadi dalam apa pun diluar diri seperti alam dan kehidupan.

Pembahasan tentang Estetika Jepang ini memang berbeda dari pembahasan estetika ala Immanuel Kant, Edmund Burke, atau para tokoh filsuf dan seni dari Eropa atau Amerika. Estetika Jepang menekankan dan terikat pada proses/relasi – pada sesuatu yang bergerak/terus berubah – bukan pada subyek atau obyeknya. Ketidaktahuan atau misteri menjadi sesuatu yang dinikmati, diapresiasi, dan bahkan dirayakan.

Kisah tiga: Primitif

 

Sou Fujimoto menulis sebuah buku yang berjudul Primitive Future. Buku ini terbit tahun 2008 langsung menjadi salah satu buku arsitektur yang populer. Fujimoto mulai mengenalkan ide tentang Nest (Sarang) dan Cave (Gua). Sarang adalah sebuah tempat yang sejak awal dipersiapkan sebagai hunian manusia. Sedangkan Gua adalah sebuah tempat yang walau bisa dihuni tapi bukan dengan sengaja dipersiapkan untuk itu. Ruang-ruang di dalam gua tidak langsung terdefinisi namun menawarkan peluang yang bebas untuk didefinisikan.  Fujimoto menawarkan dan menggagas bahwa arsitektur harus kembali seperti Gua yaitu menawarkan ruang-ruang yang ambigu namun berpeluang untuk digunakan tetapi tetap menjadi bagian dan ‘menghargai’ sekitar.

Ide tentang ‘menghapus’ arsitektur ini sebetulnya punya jejak di beberapa pemikiran-pemikiran dan karya beberapa arsitek Jepang seperti di antaranya Kengo Kuma, Ryue Nishizawa, Kazuyo Sejima, Junya Ishigami, Tadao Ando dan Toyo Ito. Walau tidak secara eksplisit sama dan karya-karya dari masing-masing mempunyai karakter ekspresi yang unik namun ide untuk ‘menghapus/meredupkan/menghilangkan’ arsitektur terus membayangi.

Tadao Ando walau pun secara ekspresi karya-karya arsitekturnya keras dan berat tidak demikian dengan maksud dan idenya. Monotonnya dan kasarnya tekstur beton justru untuk menjadikan arsitektur yang hadir sebagai latar dari program-program pengisi. Batas antara hidup-mati sebuah arsitektur kemudian menjadi jelas dan kontras. Mati pada saat tidak ada yang mengisi, dan hidup pada saat seluruh program berjalan di dalamnya dan seketika arsitektur tidak lagi bicara dan hanya menjadi panggung. Kengo Kuma bahkan secara eksplisit menggunakan ide ‘menghapus’ ini menjadi pendekatan desainnya. Dengan memahami dan menggunakan partikel-partikel dari material lokal, arsitektur menjadi punya relasi kembali dengan tempat dimana ia dibangun. Konsep “relasi” hadir dan membayangi di benak para arsitek Jepang tersebut. Arsitektur mereka seakan mengambil sikap untuk menahan diri (AWARE) dan membiarkan kemungkinan-kemungkinan yang tak terhingga akibat relasinya dengan material, ruang, dan alam (misteri) hadir (YUGEN) untuk dirayakan/diapresiasi oleh apapun yang mengisinya.

Sousuke Fujimoto membawa pencarian dari nilai primitif estetika Jepang ini ke tingkat yang lebih radikal dan juga lugas. Dengan teknologi yang sudah lebih memungkinkan arsitektur-arsitektur-nya tidak lagi bermain di tataran analogi atau simbolik tapi ikonik.

Sousuke benar menghapus arsitekturnya.


[1]Pavilion yang dirancang oleh Sou Fujimoto ini adalah pavilion ke-14. Tradisi tahunan membangun pavilion di pelataran taman Galeri Serpentine dimulai pada tahun 2000 dengan arsitek Zaha Hadid.

2 thoughts on “SOUSUKE & Furyu”

  1. Sedikit curhat untuk menanggapi tulisan ini,,,
    Saya sendiri kebetulan pernah merasakan bagaimana keadaan kantor fujimoto-san,saya dalam posisi internship untuk waktu yang tidak lama. Pertama tama saya ingin merasakan apa yang dipaparkan oleh media,bagaimana rasanya dikantor sang rising star architect,bagaimana proses designnya,dan sebagainya. Setelah sampai,untuk setiap harinya,dikantor beliau yang lokasinya di pinggiran kota shinjuku,saya merasa tertekan karena,in my humble opinion,saya tidak siap mengerjakan konsep konsep beliau yang kerap kali mengganggu hati saya untuk mengerjakan. Bagaimana beliau dengan jujurnya menerjemahkan nature dan arsitektur,memamerkan model model yang dibuat dari unpaid internnya,dsb. Dan kengerian saya mulai bertambah ketika ada pikiran “apa yg akan saya pelajari dari beliau” ketika melihat,karya karya yang menurut hati saya,sangat radikal. Dan pada akhirnya,saya memutuskan untuk keluar sebelum dr waktu yg seharusnya. Disini saya berpikir secara sederhana,selayaknya seorang mahasiswa arsitek tingkat awal yang bertanya tentang energi,material,ruang,struktur,dsb yang sedemikian harus pada tahap efektif dan efisien tanpa memikirkan adanya aspek karakter. Ya, setelah saya pikir,untuk apa belajar dari seseorang yang sibuk dengan penggalian karakter? Saya pikir tidak ada jiwa disitu. Namun,at least,beliau dan para staffnya sangat senang merancang,itu saja 🙂

    1. Terima kasih untuk komentarnya, Mas Hanif. Saya sendiri baru mencari tahu lebih dalam tentang Sou Fujimoto sebelum saya berangkat ke WAF di mana ia menjadi keynote speaker di sana. Hal pertama yg saya temukan adalah karya2nya hampir semuanya merupakan instalasi temporer. Awalnya saya mempertanyakan, lalu bgmn dia menjadi superstar jk bangunan yang ia bangun bersifat temporer? Tp saat saya mendengar ia bicara, & membaca teori2nya, saya bersyukur ia hanya membangun sesuatu yg bersifat sementara. Selama hampir 2jam ia bicara di WAF, ia tidak menyebut manusia sama sekali. Mgkn manusia yg ia bicarakan hanya dirinya. Hanya ada arsitektur dan alam. Hal ini tdk mengherankan krn sepertinya ia menganggap manusia hanyalah seekor binatang yang terlanjur ter-civilized. Namun pendapat saya ini pendapat yg tdk perlu dibenarkan krn saya jg tdk memahami praktik2nya secara mendalam.
      Memang kondangnya Sou ini mengerikan. Jika hanya media yg membesar2kan saya bisa paham krn media memang sering terpukau dg segala yg gegap gempita. Tapi jika arsitek2 kemudian menasbihkan Sou sbg panutan, atau dianggap hebat tanpa mampu mengritisi, tentu urusannya menjadi kacau. Kalau tdk salah Sabtu lalu Sou diundang untuk berbicara di ATAP, namun saya tdk hadir. Saya sebenarnya ingin hadir, bukan untuk memandang sekali lagi proyek2 Sou yg super keren, tp untuk mengetahui bgmn respon arsitek2 Indonesia yg kebanyakan ngefans dg arsitek Jepang. Apakah mereka mencoba untuk kritis terhadap apa yg dikerjakan SOu? Apakah kemudian arsitek2 mempertanyakan peran arsitek di dunia ini dan profesinya? Atau malah mereka tersenyum mengangguk-angguk dan meminta tanda tangan dan foto bersama?
      Saya paham dengan yg anda katakan tidak siap merealisasikan ide2 Sou tentu bukan tdk sanggup secara teknis, tp tidak sampai hati berbohong dg hati nurani. Ide-ide Sou itu sudah sangat mungkin dibangun di zaman sekarang. Dia hanya perlu bekerjasama dg kontraktor yg tepat. Aecom misalnya yg merealisasikan Serpentine Gallery.
      Harapan saya, selama Sou masih ribet dengan ego dan pemikirannya, ia sebaiknya menjadi superstar saja. Karena saya masih orang kuno yg menganggap arsitek itu adlaah profesi yg lebih dari berani punya dan merealisasikan ide seliar apa pun. Saya masih beranggapan manusia adalah manusia, bukan kucing yang kebetulan memahami bahasa dan memiliki akte lahir. Saya jg menulis ttg Sou di Bravacasa. Saya mengritik dg halus dg mengatakan Sou saat berpraktik seakan berlaku seperti Tuhan. hehe…
      Salam kenal, Mas Hanif.
      Gita

Leave a comment