Masuk Majalah

 

Sebagian arsitek menilainya sebagai suatu pencapaian. Sebagian lagi melihatnya sebagai peluang, bahkan pengakuan. Namun, tak sedikit juga yang menganggapnya sebagai aib atau kenistaan. Lebih parah lagi, ada pula yang memandangnya sebagai dosa.

 

Dalam buku Studio Talk, Avianti Armand bertanya, bukan cuma satu kali tapi dua kali, kepada Ahmad Tardiyana, “Supaya masuk majalah, ya?” Entah yang mana penilaiannya tentang karya arsitektur yang masuk majalah. Apakah sebuah prestasi, peluang, atau pengakuan? Atau sebaliknya, aib, kenistaan, atau bahkan dosa?

Seorang arsitek asal Beirut, Lebanon, Nabil Gholam sepertinya memiliki pemikiran, atau malah ketakutan, yang mirip meski tidak sama. Dari panggung festival hall WAF 2013 pada 4 Oktober lalu, Nabil Gholam bicara tentang being invisible. Menjadi tak terlihat atau tidak tampak tapi bukanlah sekadar permasalahan menolak masuk majalah bagi Nabil. Baginya tak tampak lebih tentang tidak tampil sebagai arsitek. Ia jarang menerima tawaran sebagai pembicara (datang dan menjadi WAF adalah sesuatu anomaly baginya), tidak banyak membuat publikasi, bahkan ia butuh bertahun-tahun lamanya untuk bisa yakin untuk membuat buku. Ia juga jarang mengizinkan karyanya difoto.

Sesungguhnya apa yang melandasi arsitek untuk memilih tidak tampak? Terlebih lagi, mengapa arsitek menilai tidak tampil sebagai sesuatu yang baik dan mulia?

Kembali ke masa lalu Nabil sebelum ia mendirikan firma arsitekturnya sendiri. Ia pernah terlibat pembangunan sebuah bangunan pencakar langit saat masih bekerja pada firma besar. Gedung tersebut terletak di sebuah kawasan lembah yang berbatasan langsung dengan laut. Suatu hari seseorang mengatakan keprihatinannya atas pembangunan gedung tinggi itu. “Sebelum gedung itu berdiri, di mana pun saya berdiri, saya selalu bisa memandang ke arah laut.” Lalu dengan perasaan bersalah dan malu Nabil mengatakan ia ikut membangun gedung tersebut.

Selanjutnya setelah ia memiliki firma sendiri dan berkuasa penuh atas semua proyek yang akan ia kerjakan, ia segera menerapkan prinsip-prinsip dan mematok batas-batas. Ia menginginkan karya-karyanya untuk tidak ‘menonjol’. Yang menurutnya adalah arsitektur yang menghormati site-nya.

Begitu membuat firmanya sendiri, ia pun menjadi enggan untuk terlalu banyak tampil ke permukaan. Ia lebih senang jika karyanya yang dikenal, tentu saja dikenal karena berhasil atau bagus. “Karya saya tidak selalu invisible, tergantung konteksnya. Tapi sayanya yang harus invisible,” ujar Nabil. Dan menolak diberitakan dan memilih tidak tampil ke muka umum sebagai arsitek adalah konsekuensi dari prinsip-prinsip itu.

Jika dilihat dari sini, saya menduga ada hal lain yang melandasi ketidak-tampilan Nabil. Rasanya bukan semata kerendahan hati. Atau kerendahan hati justru sama sekali tidak ada kaitannya dengan pilihannya untuk menjadi invisible tersebut.

Ketenaran dan kemenonjolan seperti sebuah trauma bagi Nabil. Sepertinya dalam perjalanan kariernya ia banyak melihat bangunan hebat yang banyak dibicarakan orang, namun karya tersebut ternyata justru member kontribusi negatif pada lingkungan sekitarnya. Begitu pula dengan arsitek-arsitek superstar yang selalu muncul di media dan memiliki banyak buku. Mungkin Nabil melihat arsitek-arsitek bernama besar itu ternyata melakukan sesuatu yang menurutnya secara etika tidak benar.

Arsitek-arsitek seperti Nabil tidak sedikit. Mereka mencap arsitek-arsitek yang dipuja-puja sebagai asitek mainstream. Dipuja karena berjalan di arus besar. Kemudian mereka berusaha membuat sistemnya sendiri, yang menurut mereka lebih patut secara etika. Dalam kasus Nabil, ia seakan memposisikan diri sebagai arsitek yang berjalan di pinggiran, tapi diam-diam datang dengan karya yang layak dihargai. “Dan orang-orang tidak perlu tahu kalau itu karya saya,” ujar Nabil.

Saya sempat berkata padanya jika tidak semua publikasi harus diartikan sebagai promosi. Dengan tampil, kita bisa membagi pengetahuan kita. Tapi tetap saja bagi Nabil hal ini harus dipikirkan kembali, karena sekali muncul, sosok si arsiteklah yang akan muncul.

Mungkin memang harus dibedakan antara menolak masuk ke majalah atau tidak pernah masuk majalah. Pilihan yang pertama bisa dipertanyakan, apakah si arsitek menolak karena tidak menyukai majalah tersebut, atau merasa tidak bangga dengan karyanya, atau tidak suka degan publikasi, atau pemilik bangunan tidak memberikan izin, atau si arsitek atau pemilik bangunan tidak kooperatif dengan media. Sementara pilihan yang ke dua juga bisa jadi karena banyak alasan: majalah tersebut tak memiliki akses ke si arsitek dan karyanya, karya tersebut kurang bagus di mata editor majalah tersebut, atau semata-mata, belum saatnya.

Alasan Nabil kurang suka karyanya masuk media sama dengan alasan mengapa ia tidak terlalu suka karyanya difoto. Karena ia tidak mau karyanya disejajarkan dengan karya-karya arsitektur fotogenik yang ternyata buruk saat didatangi langsung. “Lantainya buruk, detail-detailnya tidak diperhatikan, pemilihan materialnya tidak tepat, tapi terlihat bagus di foto.” Ia merasa lebih bangga mengundang orang dating untuk mengalami sendiri arsitekturnya. Tentu saja karena ia cukup percaya diri karyanya memang bagus.

Kemudian harus dibedakan pula antara bersedia diberitakan oleh majalah dengan menjadikan masuk majalah sebagai tujuan. Pilihan yang pertama bisa jadi dilandasi oleh kesenangan karena merasa karyanya diapresiasi, pemikiran bahwa publikasi gratis ini baik sebagai promosi, kesadaran untuk berbagi pengetahuan, kesadaran akan pentingnya sosialisasi sebuah karya arsitektur, rasa menghargai dari arsitek ke majalah atau editornya, melihatnya sebagai peluang untuk menjadi tenar, dsb. Sedangkan pilihan ke dua bisa jadi muncul karena kesadaran akan besarnya kekuatan media, atau senang dengan ketenaran, dsb.

Masuk majalah, dan mendapat review positif memang bisa menjadi candu. Terlebih lagi jika review positif itu langsung mendatangkan reaksi positif dari pihak ke tiga (masyarakat atau calon klien). Sekali berhasil, tentu kita akan mencoba lagi untuk menyodorkan proyek lain kepada si editor. Lama-kelamaan, bukan hanya menyodorkan proyek yang sudah jadi ke majalah, arsitek pun belum-belum sudah membayangkan proyeknya itu saat difoto dan dibingkai dalam sebuah halaman majalah, karena ia sudah tahu benar selera sang editor.

Apakah itu bisa terjadi? Entah. Sebagai jurnalis yang pernah bekerja di beberapa majalah, saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Saya rasa tiap editor cuma punya kepentingan untuk mengurasi proyek yang baik dan cocok dengan DNA majalah tersebut. Dan tentu saja, menjaga deadline. Namun kita tak pernah tahu apa yang berkembang setelah tulisan dan foto-foto tersebut sudah tercetak menjadi sebuah halaman.

Rasanya di mana pun kita berdiri selalu ada konsekuensi yang sudah terbaring di tempat itu. Diberitakan bisa jadi baik, sebaliknya bisa juga tulisan berita tersebut malah memberikan pemahaman yang salah kepada pembaca. Menolak muncul atau invisible juga bisa baik, karena dengan demikian kita bisa lebih objektif kepada suatu karya tanpa embel-embel nama besar arsiteknya. Namun tak pernah muncul di radar juga mungkin tidak bagus, karena tiap pekerjaan tentu saja harus diakui secara bertanggung jawab oleh si pekerja/pembuatnya.

One thought on “Masuk Majalah”

Leave a comment