Tag Archives: industrial design

Mana yang Lebih dulu: Memahami Pasar Atau Membuat Produk

“Design brief, market analysis, formulation of basic concept, first idea sketch, screening new idea, detail design, design ideas improvement, second idea sketch, finale, design document transfer.” Pada hari ke dua Workshop Tangan Jepara #2, Harry Maulana menjelaskan proses pengembangan desain produk yang biasa ia terapkan dalam praktik desainnya.

Waktu itu siang, dan para peserta workshop baru saja berpanas-panasan naik sepeda ke tempat penjualan kayu. Rasanya hal yang dikatakan begitu panjang dan rumit. Begitu sistematis, namun juga terasa terlalu terpola bagi desainer-desainer yang kebanyakan masih muda (termasuk mahasiswa). Namun bagi Harry itu adalah langkah yang paling sederhana. Ia punya metode yang lebih dalam rinci lagi.

Slide22

 

Slide23

Dengan skema-skema yang sangat steril, presentasi Harry memang terasa memusingkan. Namun bagi Harry, saat desainer bekerja untuk produsen besar, mereka harus mempersenjatai dirinya dengan serangkaian metode. Mungkin ada beberapa orang yang bekerja seperti magic. Apa pun yang mereka buat akan dengan mudah memikat hati siapa pun. Namun magic tidak selamanya berhasil, maka memiliki metode desain yang tepat bisa mengantarkan kita menuju target lebih mudah.

Metode ini adalah metode yang ia dapatkan setelah bertahun-tahun mendesain untuk industri-industri besar. Awalnya ia pikir hanya membawa konsep dan gambar sudah cukup, tapi ternyata tidak. Maka ia pun melakukan riset lebih rinci tentang produk yang ingin ia buat. Namun kemudian hal itu belum cukup juga, karena pada akhirnya ia harus memahami pengguna produknya, pasarnya. Kemudian ia juga berusaha meyakinkan produsen dengan bahasa yang sama, yaitu pasar dan rupiah. Terus seperti itu. “Semua tahapan muncul saat apa yang saya lakukan sebelumya ternyata tidak cukup. Akhirnya menjadi panjang sekali prosesnya.”

Harry memang membuat desain menjadi sesuatu yang sangat logis. Sepertinya segala seusatu harus dipikirkan dengan rasio, dengan perhitungan yang saklik. Sementara kita biasa memandang desain sebagai sesuatu yang intuitif, dengan perasaan. Kita biasa melihat produk desain bersanding dengan karya seni, bukan barang-barang sehari-hari yang ada di pasaran. Kita juga biasa memandang produk desain sebagai sesuatu yang konseptual, yang sepertinya sulit dimengerti oleh masyarakat awam.

Mungkin mengetahui produk-produk apa saja yang didesain oleh Harry bisa membuat kita lebih memahami mengapa ia menjadikan karakter pasar sebagai hal yang harus dipertimbangkan dengan masak. Beberapa produk yang ia rancang adalah kipas angin, setrika, penanak nasi, keran air, radio & tape, tube salep kulit, water dispenser, dan sebagainya. Benda-benda yang biasa kita temui di supermarket dan mungkin warung, mendapat sentuhan Harry. Produk-produk yang ia buat memang dijual di pasaran, maka jelas ia harus mengerti apa yang diinginkan oleh pasar.

Slide7

 

Slide9

Kebanyakan desainer yang saya kenal memang lebih banyak menggunakan intuisinya dalam mendesain. Mungkin sebenarnya mereka memiliki metode, namun seringnya mereka tak begitu mampu merunutkan langkah-langkah yang ia ambil. Jadi seakan-akan mereka hanya punya konsep, lalu secara intuisi mereka realisasikan menjadi bentuk.

Sebagian desainer berpikir jika pasar sebenarnya tidak mengerti apa yang mereka inginkan. Saat mereka melihat sebuah produk, barulah mereka sadar jika hal tersebutlah yang mereka inginkan. Ini mengapa sebagian desainer percaya jika desain yang baik lahir dari keyakinan dan kepercayaan diri. Namun apa bukti sahnya jika memiliki metode dan melakukan riset pasar sama dengan ketidakpercayaan diri atau ketidakjujuran dalam merancang?

Permasalahannya saat kita merancang produk untuk produsen atau label bukan untuk label kita sendiri adalah kenyataan jika orang pertama yang harus diyakinkan bahwa produk tersebut baik adalah produsen, baru kemudian pengguna atau konsumen. “Kalau desainer tidak bisa meyakinkan produsen, mereka bisa dengan mudah mencontek saja apa yang sudah ada,” ujar Harry. Ini mengapa menurutnya, desainer tidak cukup menciptakan desain yang baik dan bagus, tapi juga bisa memperhitungkan pemasaran produk dan perkiraan kapan modal produsen akan kembali. “Jika ada produk yang gagal di pasaran, itu adalah salah desainer,” tambahnya.

Slide32

Slide38

Slide39

Slide40

Bukankah itu adalah tugas bagian pemasaran? Ya, dan dalam presentasinya Harry juga berbicara tentang branding dan sebagainya. Namun sebagai desainer bukankah kita ingin produk kita yang berbicara, bukan jargon-jargon?

Di sisi lain, Joshua Simandjuntak, bercerita tentang sebuah coffe table yang bentuknya ia dapatkan dari proses yang sangat personal. Observasinya ke kehidupan masyarakat secara langsunglah yang menggiringnya dalam mendapatkan konsep meja tersebut. Ia datang ke rumah-rumah sambil merefleksikan pengalamannya itu ke dalam kehidupan pribadinya. Kemudian didapatlah kesimpulan, masyarakat Indonesia menjadikan coffee table sebagai tempat meletakkan segala macam makanan kecil. Dari situ muncullah cerukan-cerukan berbentuk lingkaran dan elips pada mejanya.

11_big__174602_vino_cms_

Apa yang dilakukan oleh Joshua sebenarnya merupakan bagian kecil dari apa yang dilakukan oleh Harry. Ia juga melakukan riset kualitatif, ia melakukan riset desain dan riset teknologi. Produknya pun memiliki product statement. Satu hal yang tidak dilakukan Joshua mungkin adalah riset pasar. Bukan berarti ia luput, tapi mungkin karena ia sudah menegaskan dari awal jika konsumen produk-produknya adalah konsumen internasional, meski tidak dijelaskan tepatnya negara mana.

Joshua, sama seperti kebanyakan desainer, mendesain sesuai dengan visi personalnya tentang desain. Apa yang ia desain adalah perpanjangan atau pengejawantahan dari pemikirannya. Beberapa desainer memang merasa mendesain dengan berkiblat pada keinginan pasar seakan merupakan sebuah dosa. Seakan desainer menjadi orang yang tidak jujur dan tidak orisinil.

Namun jika kita bandingkan konteks mendesain Harry dan Joshua, tentu dua metode ini bukan hal yang harus dipertentangkan dan dinilai yang mana yang lebih baik dan kurang baik. Joshua bisa mendesain lebih bebas dan personal karena ia membawa labelnya sendiri, yaitu Karsa dan Zilia. Maka Joshua adalah brand itu sendiri. Ia tak perlu meyakinkan orang lain untuk memroduksi rancangannya. Jika ia merasa, bahkan hanya dari sebuah perasaan, produk tersebut baik, maka ia akan memroduksinya.

Lain halnya dengan desainer seperti Harry, yang tentu jumlahnya tidak sedikit di Indonesia. Desainer-desainer yang mengerjakan commission design seperti ini tentu harus menghilangkan jauh-jauh dirinya dan egonya. Ia telah melebur ke dalam merek apa pun yang memberi mereka tugas. Dan mereka harus memikirkan apakah produk yang mereka desain diterima oleh pasar, karena industri seperti ini selalu memroduksi produknya dalam jumlah besar atau massal. Ada pertaruhan lain selain dirinya sendiri.

Dua-dua metode memiliki konsekuensi dan kekuatan. Setidaknya saat dua desainer dari latar belakang berbeda ini disandingkan dalam satu sesi presentasi, kita bisa memahami jika semua yang disebut sebagai desainer ternyata memiliki jalan berpraktik yang berbeda-beda. Mungkin semuanya sama-sama dipanggil desainer, namun mereka berdiri di platform yang berlainan. Sekali lagi, tidak ada yang bisa disebut lebih baik atau kurang baik. Justru ini adalah kesempatan baik untuk bisa menghargai macam-macam desainer dengan profesionalismenya.