Saat bicara tentang industri kreatif, kita bicara tentang desainer, arsitek, seniman, film maker, animator, dan sebagainya. Lalu di mana kita letakkan perajin? Orang-orang yang menjadikan ide-ide menjadi nyata dengan keterampilannya.
Industri memang seperti momok bagi perajin. Di satu sisi mereka berketergantungan pada industri karena dari situlah mereka bisa makan. Namun di sisi lain industri seperti racun yang membunuh kreativitas mereka.
Namun perajin mebel dari Desa Senenan ini berbeda. Sunaryo (41) bisa dibilang berhasil mengakali industri dengan sistem yang ia bangun bersama perajin-perajin yang bekerja bersamanya. Ia sekarang bekerja sama dengan satu label produk mebel Jepang. Dia menggunakan kesempatan ini untuk terus meningkatkan kualitas craftsmanship tangan-tangan Jepara.
Banyak industri di Jepara (katanya) terpuruk karena krisis ekonomi Eropa dan Amerika. Anda juga mengalami hal yang sama?
Syukurnya kami tidak pernah kekurangan order. Ini karena produk Jepang biasanya memiliki garansi seumur hidup. Jadi kalau pun tidak ada order untuk produksi barang baru, pasti ada saja order untuk renovasi. Ini yang membuat produksi terus berjalan.
Kenapa Jepang?
Tidak ada yang kebetulan. Dulu saya kalau berpikir, apa, ya, negara yang maju? Yang ada di benak saya adalah Jepang. Naif, ya? Tapi benar begitu. Makanya waktu SMA saya tidak mengambil IPA, atau IPS, tapi saya mengambil bahasa. Itu pertama kalinya saya belajar bahasa Jepang. Bahasa Jepang saya cuma lumayan, tidak lancar-lancar sekali. Tapi dibandingkan dengan rata-rata orang Indonesia, bahasa Jepang saya jadi bagus. Lain ceritanya kalau dengan bahasa Inggris. Bahasa Inggris saya juga cuma cukup, tapi menjadi tidak cukup karena banyak sekali orang Indonesia yang berbahasa Inggris dengan lancar. Makanya dalam hal ini saya menang, karena saya paling bisa memahami maunya orang Jepang itu apa.
Anda juga membuat mebel untuk perusahaan lain?
Wah, untuk satu perusahaan saja kami kewalahan.
Tidak terpikir untuk memperbesar workshop-nya?
Tidak. Saya lebih suka bekerja dalam tim kecil. Tidak boleh lebih dari 50 orang, jadi saya bisa mengontrol lebih baik.
Saya dengan mendapatkan kayu yang baik sekarang susah. Bagaimana Anda mengatasi hal tersebut?
Itu kenapa saya selalu meminta orang-orang dari Jepang untuk mengemail permintaan mereka selama setahun penuh, jadi saya bisa mengurus masalah persediaan kayu jauh-jauh hari. Itu, kayu yang ditumpuk di sana itu persediaan sampai tahun depan. Jadi kami tidak perlu kelabakan kalau ada order, tapi kayu tidak ada. Akan tetapi kami juga tidak selalu memerlukan kayu yang bagus. Terkadang kayu yang jelek juga dibutuhkan, karena sistem konstruksi kami memakai konstruksi laminated. Jadi tergantung pemakaiannya bagaimana.
Workshop BC Kobo, yang disebut gudang, terlihat seperti kluster kecil yang terdiri dari bangunan-bangunan terbuka. Banyaknya bangunan menunjukkan banyaknya production line. Mulai dari ruang pemotongan, ruang laminating, ruang assembling, ruang pengamplasan, ruang upholstery, ruang finishing dan pengecatan, kiln, kantor, loker and toilet, dan ruang makan. Di ruang-ruang ini, tiap komponen dinamakan dengan bahasa Jepang dan digantung atau ditata dengan rapi di kotak-kotak kecil.
Mengapa komponen-komponen ini digantung dan dinamakan?
Jadi tiap komponen diberi nama supaya proses produksi lebih mudah dan cepat. Kalau kami menerima order untuk membuat satu tipe kursi, kami tinggal mencari mana komponen yang harus direproduksi. Lalu semua tinggal dirangkai. Komponen yang lebih sering dipakai akan lebih sering kami produksi. Jadi kalau dibutuhkan tinggal ambil saja.
Apa saja yang terjadi di ruang makan?
Ruang makan ini ruang demokrasi kami, tidak ada perbedaan di sini. semua tukang atau perajin makan di sini. Saya makan di sini. Bos saya yang orang Jepang juga makan di sini. Kami tidak cuma makan di sini. Masalah juga harus diselesaikan di sini, semua dibagi di sini. Jadi nanti kalau kembali kerja, semua sudah ada solusinya, tidak bingung lagi.
Apa ini sistem industri Jepang?
Ini bukan sistem dari Jepang, bukan juga sistem Jawa. Di sini cuma saya yang punya sistem seperti ini.
Apa pekerja Anda punya kesulitan mengikuti sistem yang Anda terapkan?
Mungkin iya pada awalnya. Tapi saya, khan, tidak harus melakukan semuanya sendirian. Saya biasanya mencari orang-orang yang memahami maksud saya, lalu biarkan orang-orang itu yang memimpin yang lain. Kalau yang satu berhasil, masa yang lain tidak mau ikut? Biasanya hari-hari pertama berat, tapi lalu jadi mudah. Tapi nanti bisa jadi berat lagi karena lupa. Nah, ritme ini yang harus dijaga.
Apa Anda juga mendesain?
Kalau biasa membuat mebel, ya, akhirnya mendesain juga. Di sini, khan, banyak komponen. Jadi saya tinggal modifikasi saja. Atau misalnya hanya merangkaikan komponen-komponen dengan konfigurasi yang berbeda saja sebenarnya kita sudah mendapatkan bentuk yang baru. Ya, kalau saya mendesain seperti itu.
Kenapa kursi-kursi di sini rendah-rendah?
Kaki orang Jepang itu unik. Dari pinggang ke lutut panjang, dari lutut ke bawah pendek. Kalau mereka lebih tinggi, biasanya yang memanjang itu tetap dari lutut ke pinggang. Jadi kursi Jepang selalu lebih rendah daripada kursi pada umumnya, paling rendang 20 cm (tipe Tatami), dan paling tinggi 40 cm (reguler). Tapi kadang saya juga bermain di angka di antaranya. Kalau mereka bisa duduk dari 20 sampai 40 cm, kenapa kita tidak eksplorasi tinggi di antaranya?
Lalu desain Anda diterima?
Tidak diterima juga tidak apa-apa. Ini menjadi eksperimen buat saya. Tapi biasanya dari beberapa yang saya buat, pasti ada yang mereka sukai. Lalu desain saya diproduksi untuk dijual. Otomatis biaya eksperimennya tertutupi.
Apa kami bisa beli kursi Anda?
Wah, kalau mau beli harus ke Jepang. Haha… Pernah ada orang datang ke sini, pejabat juga. Lalu mereka suka dan mau beli. Terpaksa saya tolak dan kasih kontak orang marketing di Jepang. Saya ini pembuat kursi, bukan pedagang kursi. Jadi jangan beli kursi dari saya.
Anda bukan desainer, bukan juga arsitek, tapi bisa mendesain kursi dan rumah sendiri?
Pada dasarnya sama saja. Saya tidak bisa bilang ruamh saya bagus, tapi saya suka rumah saya, dan saya benar-benar membuat apa yang saya bayangkan. Yang pasti rumah saya murah, karena semua material dan pekerjanya tersedia. Di sini banyak detail-detail yang saya pikirkan sendiri. Misalnya saja saya tidak menggunakan bekisting untuk kolom tapi batanya saya susun lalu langsung saya cor. Lebih cepat dan tidak buang-buang kayu. Baloknya juga saya lapis dengan bata. Awalnya tukang yang mengerjakan tidak berani karena tidak umum. Lalu saya bilang ke dia, “Kamu itu penakut banget. Kalau kamu gagal, toh, tetap saya bayar. Jadi kenapa tidak dicoba dulu saja?”
Anda memiliki kamar mandi yang terbuka. Kenapa harus terbuka?
Kami sekeluarga cuma punya satu kamar mandi, yang letaknya di atas, bersebelahan dengan kamar anak-anak kami. Terbuka bukan cuma ke kamar anak kami, tapi juga ke luar. Jadi menyenangkan, kalau saya mandi, istri saya duduk di kursi yang di pojokan itu. Lalu kami ngobrol sambil minum anggur. Bisa sampai satu jam. Kalau mandi sendirian, khan, pasti cepat karena bosan.
Tapi mengapa harus terbuka?
Saya memang tidak bisa tinggal di ruang tertutup. Jadi saya ke mana-mana kalau menginap di hotel, yang saya pastikan adalah kamar tersebut harus memiliki jendela. Walau pun pakai AC, tetap saja saya akan buka jendela itu walau sedikit. Namun keterbukaan bukan cuma kami terapkan pada kamar mandi saja, coba lihat rumah kami. Apa ada lemari yang tertutup? Semua saya bikin terbuka, supaya kalau ada yang berantakan bisa cepat-cepat dibereskan. Setiap teman istri saya yang ke sini bertanya, apa dia tidak takut hidup di rumah yang terlalu terbuka seperti ini. Kami hanya tertawa saja. Mungkin banyak orang yang menikmati hidup dengan banyak yang ditutup-tutupi.
Apa di Jepara tidak ada rayap? Karena di sini semua dibuat dengan kayu.
Rayap itu, ya, ada. Tapi begini, kita, khan, tidak perlu membuat segala sesuatu menjadi abadi. Yang baik itu membuat sesuatu berfungsi dengan baik saat diperlukan. Menurut saya paling tidak baik itu membuat sesuatu agar terus ada padahal kita sudah tidak menginginkannya lagi. Karena apa yang akan kita lakukan? Kita akan membongkarnya, bukan? Jadi ya, mengapa semuanya harus awet selama-lamanya? Toh, tidak ada yang abadi dalam hidup ini.
Apa yang ingin Anda sampaikan ke desainer Indonesia?
Kalau mau jadi desainer yang baik, kita harus menguasai satu hal. Misalnya ingin bisa mendesain kursi yang baik. Ya, sudah. Bikin saja kursi terus. Berkali-kali hanya membuat kursi. Jangan gampang tertarik pada semua hal. Ibaratnya itu, kalau kita mau merasakan nikmatnya minum air kelapa, kita harus manjat, ambil kepalanya dahulu. Lalu kita harus mengupas sabutnya yang tebal. Kita pecahkan batoknya, baru kemudian kita bisa meminum airnya dan memakan daging buahnya. Memang harus sabar kalau ingin merasakan nikmat yang sesungguhnya. Kalau baru mendesain kursi sekali, lalu sudah pindah ke produk lain, lalu pindah lagi, belum ahli di satu hal, kita sudah pindah lagi. Ya, malah tidak ahli-ahli.
Kenapa Anda tidak meneruskan usaha bapak Anda?
Bapak saya memiliki usahanya sendiri. Dia adalah pembuat mebel tradisional dan dia sudah merasa puas dengan hal itu. buat saya itu tidak cukup, saya ingin memiliki usaha saya sendiri di mana saya bisa banyak bereksperimen dan berinovasi. Itu yang kurang di Jepara.
Apa Anda bisa mengukir?
Tentu saja. Di Jepara, kalau sudah kelas enam SD tapi belum bisa cari uang dengan mengukir itu rasanya malu sekali.
Tapi Anda tidak memakainya lagi pada karya Anda saat ini.
Tidak ada yang sia-sia. Dengan belajar mengukir saya jadi mengerti urat kayu.
Apa Anda tidak khawatir orang akan mengatakan Anda tidak melestarikan budaya mengukir?
Budaya itu ada karena ada orang-orang berani yang mau berinovasi. Budaya justru mati jika kita hanya mengikuti leluhur kita.
Menurut Anda, Anda sukses?
Sukses itu bukan urusan saya. Tapi kalau pun saya tidak sukses, saya pasti dikenang karena saat orang-orang jalan lurus, saya belok ke kiri.