Category Archives: Tangan Jepara #2

Bincang-bincang Dengan Sunaryo

sunaryo2

Saat bicara tentang industri kreatif, kita bicara tentang desainer, arsitek, seniman, film maker, animator, dan sebagainya. Lalu di mana kita letakkan perajin? Orang-orang yang menjadikan ide-ide menjadi nyata dengan keterampilannya.

Industri memang seperti momok bagi perajin. Di satu sisi mereka berketergantungan pada industri karena dari situlah mereka bisa makan. Namun di sisi lain industri seperti racun yang membunuh kreativitas mereka.

Namun perajin mebel dari Desa Senenan ini berbeda. Sunaryo (41) bisa dibilang berhasil mengakali industri dengan sistem yang ia bangun bersama perajin-perajin yang bekerja bersamanya. Ia sekarang bekerja sama dengan satu label produk mebel Jepang. Dia menggunakan kesempatan ini untuk terus meningkatkan kualitas craftsmanship tangan-tangan Jepara.

 

Banyak industri di Jepara (katanya) terpuruk karena krisis ekonomi Eropa dan Amerika. Anda juga mengalami hal yang sama?

Syukurnya kami tidak pernah kekurangan order. Ini karena produk Jepang biasanya memiliki garansi seumur hidup. Jadi kalau pun tidak ada order untuk produksi barang baru, pasti ada saja order untuk renovasi. Ini yang membuat produksi terus berjalan.

Kenapa Jepang?

Tidak ada yang kebetulan. Dulu saya kalau berpikir, apa, ya, negara yang maju? Yang ada di benak saya adalah Jepang. Naif, ya? Tapi benar begitu. Makanya waktu SMA saya tidak mengambil IPA, atau IPS, tapi saya mengambil bahasa. Itu pertama kalinya saya belajar bahasa Jepang. Bahasa Jepang saya cuma lumayan, tidak lancar-lancar sekali. Tapi dibandingkan dengan rata-rata orang Indonesia, bahasa Jepang saya jadi bagus. Lain ceritanya kalau dengan bahasa Inggris. Bahasa Inggris saya juga cuma cukup, tapi menjadi tidak cukup karena banyak sekali orang Indonesia yang berbahasa Inggris dengan lancar. Makanya dalam hal ini saya menang, karena saya paling bisa memahami maunya orang Jepang itu apa.

Anda juga membuat mebel untuk perusahaan lain?

Wah, untuk satu perusahaan saja kami kewalahan.

Tidak terpikir untuk memperbesar workshop-nya?

Tidak. Saya lebih suka bekerja dalam tim kecil. Tidak boleh lebih dari 50 orang, jadi saya bisa mengontrol lebih baik.

Saya dengan mendapatkan kayu yang baik sekarang susah. Bagaimana Anda mengatasi hal tersebut?

Itu kenapa saya selalu meminta orang-orang dari Jepang untuk mengemail permintaan mereka selama setahun penuh, jadi saya bisa mengurus masalah persediaan kayu jauh-jauh hari. Itu, kayu yang ditumpuk di sana itu persediaan sampai tahun depan. Jadi kami tidak perlu kelabakan kalau ada order, tapi kayu tidak ada. Akan tetapi kami juga tidak selalu memerlukan kayu yang bagus. Terkadang kayu yang jelek juga dibutuhkan, karena sistem konstruksi kami memakai konstruksi laminated. Jadi tergantung pemakaiannya bagaimana.

bc kobo20

Workshop BC Kobo, yang disebut gudang, terlihat seperti kluster kecil yang terdiri dari bangunan-bangunan terbuka. Banyaknya bangunan menunjukkan banyaknya production line. Mulai dari ruang pemotongan, ruang laminating, ruang assembling, ruang pengamplasan, ruang upholstery, ruang finishing dan pengecatan, kiln, kantor, loker and toilet, dan ruang makan. Di ruang-ruang ini, tiap komponen dinamakan dengan bahasa Jepang dan digantung atau ditata dengan rapi di kotak-kotak kecil.

Mengapa komponen-komponen ini digantung dan dinamakan?

Jadi tiap komponen diberi nama supaya proses produksi lebih mudah dan cepat. Kalau kami menerima order untuk membuat satu tipe kursi, kami tinggal mencari mana komponen yang harus direproduksi. Lalu semua tinggal dirangkai. Komponen yang lebih sering dipakai akan lebih sering kami produksi. Jadi kalau dibutuhkan tinggal ambil saja.

Apa saja yang terjadi di ruang makan?

Ruang makan ini ruang demokrasi kami, tidak ada perbedaan di sini. semua tukang atau perajin makan di sini. Saya makan di sini. Bos saya yang orang Jepang juga makan di sini. Kami tidak cuma makan di sini. Masalah juga harus diselesaikan di sini, semua dibagi di sini. Jadi nanti kalau kembali kerja, semua sudah ada solusinya, tidak bingung lagi.

Apa ini sistem industri Jepang?

Ini bukan sistem dari Jepang, bukan juga sistem Jawa. Di sini cuma saya yang punya sistem seperti ini.

Apa pekerja Anda punya kesulitan mengikuti sistem yang Anda terapkan?

Mungkin iya pada awalnya. Tapi saya, khan, tidak harus melakukan semuanya sendirian. Saya biasanya mencari orang-orang yang memahami maksud saya, lalu biarkan orang-orang itu yang memimpin yang lain. Kalau yang satu berhasil, masa yang lain tidak mau ikut? Biasanya hari-hari pertama berat, tapi lalu jadi mudah. Tapi nanti bisa jadi berat lagi karena lupa. Nah, ritme ini yang harus dijaga.

Apa Anda juga mendesain?

Kalau biasa membuat mebel, ya, akhirnya mendesain juga. Di sini, khan, banyak komponen. Jadi saya tinggal modifikasi saja. Atau misalnya hanya merangkaikan komponen-komponen dengan konfigurasi yang berbeda saja sebenarnya kita sudah mendapatkan bentuk yang baru. Ya, kalau saya mendesain seperti itu.

Kenapa kursi-kursi di sini rendah-rendah?

Kaki orang Jepang itu unik. Dari pinggang ke lutut panjang, dari lutut ke bawah pendek. Kalau mereka lebih tinggi, biasanya yang memanjang itu tetap dari lutut ke pinggang. Jadi kursi Jepang selalu lebih rendah daripada kursi pada umumnya, paling rendang 20 cm (tipe Tatami), dan paling tinggi 40 cm (reguler). Tapi kadang saya juga bermain di angka di antaranya. Kalau mereka bisa duduk dari 20 sampai 40 cm, kenapa kita tidak eksplorasi tinggi di antaranya?

Lalu desain Anda diterima?

Tidak diterima juga tidak apa-apa. Ini menjadi eksperimen buat saya. Tapi biasanya dari beberapa yang saya buat, pasti ada yang mereka sukai. Lalu desain saya diproduksi untuk dijual. Otomatis biaya eksperimennya tertutupi.

Apa kami bisa beli kursi Anda?

Wah, kalau mau beli harus ke Jepang. Haha… Pernah ada orang datang ke sini, pejabat juga. Lalu mereka suka dan mau beli. Terpaksa saya tolak dan kasih kontak orang marketing di Jepang. Saya ini pembuat kursi, bukan pedagang kursi. Jadi jangan beli kursi dari saya.

Anda bukan desainer, bukan juga arsitek, tapi bisa mendesain kursi dan rumah sendiri?

Pada dasarnya sama saja. Saya tidak bisa bilang ruamh saya bagus, tapi saya suka rumah saya, dan saya benar-benar membuat apa yang saya bayangkan. Yang pasti rumah saya murah, karena semua material dan pekerjanya tersedia. Di sini banyak detail-detail yang saya pikirkan sendiri. Misalnya saja saya tidak menggunakan bekisting untuk kolom tapi batanya saya susun lalu langsung saya cor. Lebih cepat dan tidak buang-buang kayu. Baloknya juga saya lapis dengan bata. Awalnya tukang yang mengerjakan tidak berani karena tidak umum. Lalu saya bilang ke dia, “Kamu itu penakut banget. Kalau kamu gagal, toh, tetap saya bayar. Jadi kenapa tidak dicoba dulu saja?”

Anda memiliki kamar mandi yang terbuka. Kenapa harus terbuka?

Kami sekeluarga cuma punya satu kamar mandi, yang letaknya di atas, bersebelahan dengan kamar anak-anak kami. Terbuka bukan cuma ke kamar anak kami, tapi juga ke luar. Jadi menyenangkan, kalau saya mandi, istri saya duduk di kursi yang di pojokan itu. Lalu kami ngobrol sambil minum anggur. Bisa sampai satu jam. Kalau mandi sendirian, khan, pasti cepat karena bosan.

Tapi mengapa harus terbuka?

Saya memang tidak bisa tinggal di ruang tertutup. Jadi saya ke mana-mana kalau menginap di hotel, yang saya pastikan adalah kamar tersebut harus memiliki jendela. Walau pun pakai AC, tetap saja saya akan buka jendela itu walau sedikit. Namun keterbukaan bukan cuma kami terapkan pada kamar mandi saja, coba lihat rumah kami. Apa ada lemari yang tertutup? Semua saya bikin terbuka, supaya kalau ada yang berantakan bisa cepat-cepat dibereskan. Setiap teman istri saya yang ke sini bertanya, apa dia tidak takut hidup di rumah yang terlalu terbuka seperti ini. Kami hanya tertawa saja. Mungkin banyak orang yang menikmati hidup dengan banyak yang ditutup-tutupi.

Apa di Jepara tidak ada rayap? Karena di sini semua dibuat dengan kayu.

Rayap itu, ya, ada. Tapi begini, kita, khan, tidak perlu membuat segala sesuatu menjadi abadi. Yang baik itu membuat sesuatu berfungsi dengan baik saat diperlukan. Menurut saya paling tidak baik itu membuat sesuatu agar terus ada padahal kita sudah tidak menginginkannya lagi. Karena apa yang akan kita lakukan? Kita akan membongkarnya, bukan? Jadi ya, mengapa semuanya harus awet selama-lamanya? Toh, tidak ada yang abadi dalam hidup ini.

Apa yang ingin Anda sampaikan ke desainer Indonesia?

Kalau mau jadi desainer yang baik, kita harus menguasai satu hal. Misalnya ingin bisa mendesain kursi yang baik. Ya, sudah. Bikin saja kursi terus. Berkali-kali hanya membuat kursi. Jangan gampang tertarik pada semua hal. Ibaratnya itu, kalau kita mau merasakan nikmatnya minum air kelapa, kita harus manjat, ambil kepalanya dahulu. Lalu kita harus mengupas sabutnya yang tebal. Kita pecahkan batoknya, baru kemudian kita bisa meminum airnya dan memakan daging buahnya. Memang harus sabar kalau ingin merasakan nikmat yang sesungguhnya. Kalau baru mendesain kursi sekali, lalu sudah pindah ke produk lain, lalu pindah lagi, belum ahli di satu hal, kita sudah pindah lagi. Ya, malah tidak ahli-ahli.

Kenapa Anda tidak meneruskan usaha bapak Anda?

Bapak saya memiliki usahanya sendiri. Dia adalah pembuat mebel tradisional dan dia sudah merasa puas dengan hal itu. buat saya itu tidak cukup, saya ingin memiliki usaha saya sendiri di mana saya bisa banyak bereksperimen dan berinovasi. Itu yang kurang di Jepara.

Apa Anda bisa mengukir?

Tentu saja. Di Jepara, kalau sudah kelas enam SD tapi belum bisa cari uang dengan mengukir itu rasanya malu sekali.

Tapi Anda tidak memakainya lagi pada karya Anda saat ini.

Tidak ada yang sia-sia. Dengan belajar mengukir saya jadi mengerti urat kayu.

Apa Anda tidak khawatir orang akan mengatakan Anda tidak melestarikan budaya mengukir?

Budaya itu ada karena ada orang-orang berani yang mau berinovasi. Budaya justru mati jika kita hanya mengikuti leluhur kita.

Menurut Anda, Anda sukses?

Sukses itu bukan urusan saya. Tapi kalau pun saya tidak sukses, saya pasti dikenang karena saat orang-orang jalan lurus, saya belok ke kiri.

sunaryo3

 

Duduk, Aktivitas Yang Sering ‘Disepelekan’

Saat bicara tentang kursi, seringnya kita melupakan duduk itu sendiri.

pedagang Lombok
Pedagang di Lombok. Foto: koleksi Fabianus Koesoemadinata

Di akhir Workshop Tangan Jepara #2, para peserta workshop diharuskan untuk menghasilkan rancangan sebuah stool, yaitu wadah duduk tanpa sandaran. Lalu semua peserta membuat sketsa-sketa ide-ide mereka. Beberapa berkutat dengan bentuk, ada juga yang menitikberatkan pada konstruksi, juga ada yang menambahkan fitur-fitur pada fungsi sebuah stool.

DSC07325

DSC07326

Namun, apakah yang dimaksud dengan duduk itu sendiri?

Kita seperti dipaksa untuk berpikir mundur. Saat kursi-kursi ikonik telah diciptakan desainer-desainer top dunia, atau arsitek – Eames Chair, Mies Chair, Pantone Chair, Thonet Chair, dan sebagainya – seringnya kita memang lupa pada duduk itu sendiri. Kita lantas berbicara tentang elemen-elemen senirupa, bentuk, tekstur, warna, garis, dan sebagainya, bukan tentang duduk itu sendiri.

Namun mengapa kita menciptakan sebuah kursi? Siapakah orang pertama yang membuat kursi?

Ini adalah jawab Yahoo! untuk pertanyaan-pertanyaan tadi. Orang pertama yang membuat kursi diduga adalah Bob Peters pada tahun 1824. Siapa sebenarnya Bob Peters yang dimaksud di sini tidak dijelaskan. Namun, jawaban tadi menjadi tidak relevan karena Yahoo! juga menyimpan jawaban bahwa bangsa Mesirlah yang pertama kali membuat kursi, dan kursi pada saat itu terbuat dari batu besar. Pada saat berbicara tentang peradaban Mesir, sudah pasti tidak mungkin terjadi pada tahun 1824.

Jawaban itu mungkin tercatat karena kebetulan sejarah Barat lebih tercatat daripada sejarah Timur. Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Mungkinkah sudah ada kursi di zaman prasejarah Nusantara? Apa tidak ada kursi yang menjadi?

Mungkin saja memang tidak ada. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan sejarah industry mebel yang terpanjang di dunia, bisa disandingkan dengan Italia, Inggris, Skandinavia, atau Jepang. Namun jika kita melihat kembali budaya Nusantara, mungkin kita memang tidak menemukan gambaran leluhur kita duduk di sebuah kursi, kecuali para raja, itu pun mungkin hanya di suku tertentu.

Namun, pada umumnya, bangsa kita adalah bangsa lesehan. Orang-orang Dayak terkenal dengan tikar-tikar rotannya yang dianyam begitu indah, dengan segala motif dan identitas keluarga mereka. Itu menunjukkan jika tikar adalah benda penting bagi mereka, tempat mereka duduk dan mendudukkan permasalahan. Saya ingat sekali firma desain INCH dari Swedia yang pernah bekerja di Kalimantan mengatakan, “Bagaimana kami bisa membuat mebel di antara masyarakat yang tidak pernah menggunakan mebel?”

DSC07407
Tikar rotan Suku Dayak Tingalan, Nunukan. Foto: reproduksi dari Buku Plaited Arts From The Borneo Rainforest. Editor Bernard Sellato. Hal. 386
DSC07406
Macam-macam tikar rotan Suku Dayak Iban. Foto: reproduksi dari Buku Plaited Arts From The Borneo Rainforest. Editor Bernard Sellato. Hal. 343

DSC07405

Suku Sunda sampai saat ini masih begitu identik dengan kata lesehan itu sendiri, sehingga restoran-restoran Sunda masa kini pun masih memakai cara duduk lesehan. Pada presentasinya tentang budaya duduk, Fabianus Koesoemadinata menunjukkan budaya duduk orang Jawa melalui cara duduk para pemain gamelan dan sinden pada pertunjukannya. Semua personil duduk lesehan. Untuk meninggikan kedudukan mereka, untuk keperluan visual dan pertanda, mereka tidak diberikan kursi, melainkan dibuat sebuah platform yang lebih tinggi daripada lantai atau permukaan panggung.

Picture2

Dari foto-foto Yori Antar saat berkunjung ke Rumah Niang di Waerebo, terlihat pula semua warga duduk di lantai bersama-sama, mendengarkan para tetua adat mereka. Kita juga bisa melihat budaya duduk di lantai merupakan kebiasaan duduk di Sumatera dari pesta makan besar mereka, misalnya Makan Bajamba Suku Minangkabau. Semua duduk di lantai yang beralas, bukan di kursi.

2013102837

Kebiasaan duduk kita di lantai juga bisa dilihat dari banyaknya penggunaan dingklik di tempat-tempat kerja. Dingklik pada dasarnya mirip stool, hanya saja lebih rendah. Ini menunjukkan jika masyarakat lebih menyukai duduk rendah dekat dengan tanah, namun membutuhkan pengganjal di pantatnya agar kaki mereka tidak cepat pegal atau lelah.

bc kobo10

dingklik

Budaya duduk lesehan di Indonesia mirip dengan budaya duduk di tatami orang Jepang. sebagian besar orang Jepang, di masa modern ini, masih melestarikan duduk di lantai. Alih-alih melupakan tradisi ini, mereka bahkan mendesain kursi khusus bagi bangsa mereka sendiri. Kursi untuk tatami seperti itu salah satunya diproduksi BC Kobo yang workshopnya berlokasi di Jepara. Kursi semacam ini hanya memiliki ketinggian 20 cm.

Picture3

Di Indonesia, mungkin hanya dingklik mebel yang mengadaptasi budaya duduk kita. Selain itu, kita sudah terbiasa duduk di sofa, lounge chair, bar stool, stool, dsb.

Mungkin tidak ada salahnya jika kita berpikir mundur ke belakang sejenak, merefleksikan kembali budaya keseharian kita, dan merasakan dengan seksama apa itu aktivitas duduk, justru kita bisa menciptakan segala macam varian-varian yang tidak hanya berkutat pada masalah bentuk.Jika melihat bagaimana Jepang yang tetap melestarikan budaya duduk di tatami mereka dengan membuat kursi khusus, seharusnya kita tidak perlu khawatir akan kehilangan mata pencaharian sebagai desainer mebel karena mengakui jika jauh sebelum ada kursi, masyarakat kita sudah hidup dengan baik dengan duduk di lantai.

Mungkin dengan proses tersebut akan muncul jenis-jenis mebel baru, yang mungkin hanya akan laku di Indonesia tidak di negara lain. Mungkin di era tidak ada penemuan lagi ini, kita masih bisa menghasilkan sebuah inovasi yang bukan sekadar baru yang konsumtif, tapi baru yang dibutuhkan karena menyentuh permasalahan yang esensial, yaitu kebutuhan akan wadah duduk yang sesuai dengan kebiasaan dan ergonomis masyarakat Indonesia.

Mana yang Lebih dulu: Memahami Pasar Atau Membuat Produk

“Design brief, market analysis, formulation of basic concept, first idea sketch, screening new idea, detail design, design ideas improvement, second idea sketch, finale, design document transfer.” Pada hari ke dua Workshop Tangan Jepara #2, Harry Maulana menjelaskan proses pengembangan desain produk yang biasa ia terapkan dalam praktik desainnya.

Waktu itu siang, dan para peserta workshop baru saja berpanas-panasan naik sepeda ke tempat penjualan kayu. Rasanya hal yang dikatakan begitu panjang dan rumit. Begitu sistematis, namun juga terasa terlalu terpola bagi desainer-desainer yang kebanyakan masih muda (termasuk mahasiswa). Namun bagi Harry itu adalah langkah yang paling sederhana. Ia punya metode yang lebih dalam rinci lagi.

Slide22

 

Slide23

Dengan skema-skema yang sangat steril, presentasi Harry memang terasa memusingkan. Namun bagi Harry, saat desainer bekerja untuk produsen besar, mereka harus mempersenjatai dirinya dengan serangkaian metode. Mungkin ada beberapa orang yang bekerja seperti magic. Apa pun yang mereka buat akan dengan mudah memikat hati siapa pun. Namun magic tidak selamanya berhasil, maka memiliki metode desain yang tepat bisa mengantarkan kita menuju target lebih mudah.

Metode ini adalah metode yang ia dapatkan setelah bertahun-tahun mendesain untuk industri-industri besar. Awalnya ia pikir hanya membawa konsep dan gambar sudah cukup, tapi ternyata tidak. Maka ia pun melakukan riset lebih rinci tentang produk yang ingin ia buat. Namun kemudian hal itu belum cukup juga, karena pada akhirnya ia harus memahami pengguna produknya, pasarnya. Kemudian ia juga berusaha meyakinkan produsen dengan bahasa yang sama, yaitu pasar dan rupiah. Terus seperti itu. “Semua tahapan muncul saat apa yang saya lakukan sebelumya ternyata tidak cukup. Akhirnya menjadi panjang sekali prosesnya.”

Harry memang membuat desain menjadi sesuatu yang sangat logis. Sepertinya segala seusatu harus dipikirkan dengan rasio, dengan perhitungan yang saklik. Sementara kita biasa memandang desain sebagai sesuatu yang intuitif, dengan perasaan. Kita biasa melihat produk desain bersanding dengan karya seni, bukan barang-barang sehari-hari yang ada di pasaran. Kita juga biasa memandang produk desain sebagai sesuatu yang konseptual, yang sepertinya sulit dimengerti oleh masyarakat awam.

Mungkin mengetahui produk-produk apa saja yang didesain oleh Harry bisa membuat kita lebih memahami mengapa ia menjadikan karakter pasar sebagai hal yang harus dipertimbangkan dengan masak. Beberapa produk yang ia rancang adalah kipas angin, setrika, penanak nasi, keran air, radio & tape, tube salep kulit, water dispenser, dan sebagainya. Benda-benda yang biasa kita temui di supermarket dan mungkin warung, mendapat sentuhan Harry. Produk-produk yang ia buat memang dijual di pasaran, maka jelas ia harus mengerti apa yang diinginkan oleh pasar.

Slide7

 

Slide9

Kebanyakan desainer yang saya kenal memang lebih banyak menggunakan intuisinya dalam mendesain. Mungkin sebenarnya mereka memiliki metode, namun seringnya mereka tak begitu mampu merunutkan langkah-langkah yang ia ambil. Jadi seakan-akan mereka hanya punya konsep, lalu secara intuisi mereka realisasikan menjadi bentuk.

Sebagian desainer berpikir jika pasar sebenarnya tidak mengerti apa yang mereka inginkan. Saat mereka melihat sebuah produk, barulah mereka sadar jika hal tersebutlah yang mereka inginkan. Ini mengapa sebagian desainer percaya jika desain yang baik lahir dari keyakinan dan kepercayaan diri. Namun apa bukti sahnya jika memiliki metode dan melakukan riset pasar sama dengan ketidakpercayaan diri atau ketidakjujuran dalam merancang?

Permasalahannya saat kita merancang produk untuk produsen atau label bukan untuk label kita sendiri adalah kenyataan jika orang pertama yang harus diyakinkan bahwa produk tersebut baik adalah produsen, baru kemudian pengguna atau konsumen. “Kalau desainer tidak bisa meyakinkan produsen, mereka bisa dengan mudah mencontek saja apa yang sudah ada,” ujar Harry. Ini mengapa menurutnya, desainer tidak cukup menciptakan desain yang baik dan bagus, tapi juga bisa memperhitungkan pemasaran produk dan perkiraan kapan modal produsen akan kembali. “Jika ada produk yang gagal di pasaran, itu adalah salah desainer,” tambahnya.

Slide32

Slide38

Slide39

Slide40

Bukankah itu adalah tugas bagian pemasaran? Ya, dan dalam presentasinya Harry juga berbicara tentang branding dan sebagainya. Namun sebagai desainer bukankah kita ingin produk kita yang berbicara, bukan jargon-jargon?

Di sisi lain, Joshua Simandjuntak, bercerita tentang sebuah coffe table yang bentuknya ia dapatkan dari proses yang sangat personal. Observasinya ke kehidupan masyarakat secara langsunglah yang menggiringnya dalam mendapatkan konsep meja tersebut. Ia datang ke rumah-rumah sambil merefleksikan pengalamannya itu ke dalam kehidupan pribadinya. Kemudian didapatlah kesimpulan, masyarakat Indonesia menjadikan coffee table sebagai tempat meletakkan segala macam makanan kecil. Dari situ muncullah cerukan-cerukan berbentuk lingkaran dan elips pada mejanya.

11_big__174602_vino_cms_

Apa yang dilakukan oleh Joshua sebenarnya merupakan bagian kecil dari apa yang dilakukan oleh Harry. Ia juga melakukan riset kualitatif, ia melakukan riset desain dan riset teknologi. Produknya pun memiliki product statement. Satu hal yang tidak dilakukan Joshua mungkin adalah riset pasar. Bukan berarti ia luput, tapi mungkin karena ia sudah menegaskan dari awal jika konsumen produk-produknya adalah konsumen internasional, meski tidak dijelaskan tepatnya negara mana.

Joshua, sama seperti kebanyakan desainer, mendesain sesuai dengan visi personalnya tentang desain. Apa yang ia desain adalah perpanjangan atau pengejawantahan dari pemikirannya. Beberapa desainer memang merasa mendesain dengan berkiblat pada keinginan pasar seakan merupakan sebuah dosa. Seakan desainer menjadi orang yang tidak jujur dan tidak orisinil.

Namun jika kita bandingkan konteks mendesain Harry dan Joshua, tentu dua metode ini bukan hal yang harus dipertentangkan dan dinilai yang mana yang lebih baik dan kurang baik. Joshua bisa mendesain lebih bebas dan personal karena ia membawa labelnya sendiri, yaitu Karsa dan Zilia. Maka Joshua adalah brand itu sendiri. Ia tak perlu meyakinkan orang lain untuk memroduksi rancangannya. Jika ia merasa, bahkan hanya dari sebuah perasaan, produk tersebut baik, maka ia akan memroduksinya.

Lain halnya dengan desainer seperti Harry, yang tentu jumlahnya tidak sedikit di Indonesia. Desainer-desainer yang mengerjakan commission design seperti ini tentu harus menghilangkan jauh-jauh dirinya dan egonya. Ia telah melebur ke dalam merek apa pun yang memberi mereka tugas. Dan mereka harus memikirkan apakah produk yang mereka desain diterima oleh pasar, karena industri seperti ini selalu memroduksi produknya dalam jumlah besar atau massal. Ada pertaruhan lain selain dirinya sendiri.

Dua-dua metode memiliki konsekuensi dan kekuatan. Setidaknya saat dua desainer dari latar belakang berbeda ini disandingkan dalam satu sesi presentasi, kita bisa memahami jika semua yang disebut sebagai desainer ternyata memiliki jalan berpraktik yang berbeda-beda. Mungkin semuanya sama-sama dipanggil desainer, namun mereka berdiri di platform yang berlainan. Sekali lagi, tidak ada yang bisa disebut lebih baik atau kurang baik. Justru ini adalah kesempatan baik untuk bisa menghargai macam-macam desainer dengan profesionalismenya.

Industrialisasi Kriya Tradisional: Mungkin Tidak Selalu Buruk

Di sela muramnya industri mebel Jepara, terjadi praktik sistem industrial craft. Dan ini adalah sebuah contoh best practice.

bc kobo1

Balok dan papan kayu, kursi, meja, lemari, dipan, gebyok, bingkai cermin, jam, juga elemen dekoratif seperti relief dan patung. Itulah pemandangan di sepanjang jalan, di seluruh desa, di setiap rumah.

Tempat ini adalah Jepara, kabupaten di pesisir utara Jawa Tengah. Jauh dari hiruk-pikuk, namun banyak dikunjungi pengusaha-pengusaha mebel mancanegara. Sebaliknya, banyak orang Indonesia justru masih asing dengan Jepara. Desainer Indonesia pun masih banyak yang belum pernah ke Jepara. Memang banyak desainer yang tidak paham apa arti Jepara bagi dunia desain. Mungkin karena mereka pikir tukang-tukang di workshop mereka sudah cukup untuk memroduksi desain-desain mereka.

Jepara dikenal sebagai sentra ukir terbaik di dunia, rumahnya perajin-perajin ukir terhalus dan hal itu diakui produsen produk kayu dan desainer mancanegara. Tiap desa kemudian menjadi sentra-sentra kerajinan lagi berdasarkan jenis keterampilannya, sehingga ada desa yang hanya membuat patung, relief, ada yang hanya membuat dipan, atau gebyok.

Namun reputasi itu tercemar dengan mental mudah puas beberapa tukang– bukan perajin. Tentu saja tukang dengan perajin atau artisan harus dibedakan meski sama-sama disapa tukang kayu atau tukang mebel. Dalam tulisan ini, tukang didefinisikan sebagai pekerja yang bekerja sesuai order. Inilah yang membuat seorang tukang biasanya bekerja mengikuti apa kata pasar. Saat pasar ‘jatuh’, tukang-tukang ini memposisikan diri sebagai korban yang ikut terperosok. Tukang-tukang inilah yang menyumbangkan pandangan miring tentang Jepara, mulai dari malas, konvensional, dan sulit beradaptasi dengan desain baru, atau kualitas craftsmanship yang kasar.

Namun faktanya, perajin di Jepara masih banyak. Merekalah yang kerap berinovasi, menantang keterampilan tangan mereka untuk melampaui batasan. Banyak mebel-mebel baik yang terpajang di sepanjang jalan-jalan di Jepara. Beberapa mirip dengan mebel-mebel yang terpampang di majalah-majalah dekorasi luar negeri. Memang bukan rahasia jika banyak label luar negeri memroduksi mebelnya di Jepara.

Namun, karena dorongan berkreasi perajin biasanya berasal dari dalam diri, seringnya mereka kehilangan arah dalam mengembangkan keterampilan tangannya saat menghadapi desakan ekonomi. Di sinilah letak pentingnya desain. Bukan berarti perajin tidak memiliki kepekaan estetika, namun dalam era industri ini, mempertemukan craftsmanship dengan estetika industri, yang kemudian disebut desain, sudah menjadi kebutuhan.

Ini mengapa Himpunan Desainer Mebel Indonesia mengadakan Lokakarya Tangan Jepara untuk ke dua kalinya November lalu. Bambang Kartono, Ketua HDMI mengatakan permintaan pasar ekspor di era 90-an cenderung dikendalikan buyer asing sehingga perajin tidak memiliki posisi tawar, dan ini merugikan ekonomi perajin. Yang paling disayangkan, karakteristik produk juga tergiring mengikuti selera pasar global yang bersifat massal. “Jika saja potensi industri yang dimiliki Jepara dikelola dengan kemampuan desain sendiri sesuai keunikan skill yang berbasis hand made dan craftsmanship, saya yakin nilai tawar akan terdongkrak.”

Salah satu isu yang muncul di lokakarya ini adalah kemungkinan mengeksekusi kriya atau keterampilan ukir Jepara dengan sistem produksi industri. Jepara adalah sentra industri mebel, namun sistem produksinya belum sepenuhnya berjalan seperti industri. Masih banyak yang bersifat custom, dengan pengetahuan tacit yang masih melekat di tubuh.

Desainer pun sering belum bekerja menurut sistem produksi industri. Sebagian secara sadar menolak, sebagian lagi tidak melakukan karena tidak mengerti. Industri memang sering diartikan sebagai sesuatu yang jahat. Dalam hal desain, industri sering dianggap sebagai penghambat perkembangan dan pengekang kreativitas. Industri juga sering disederhanakan sebagai penjualan produk massal yang hanya bertumpu pada permintaan pasar.

Akan tetapi industri tidak selamanya harus dimaknai seperti itu. Di dalam industri, ada sistem yang bisa kita adaptasi. Memahami jika ada infrastruktur yang mendukung proses kreatifnya dan memanfaatkannya dengan benar sesungguhnya merupakan sebuah langkah dalam membangun industri. Sering kali desainer bukan tidak andal merancang, ia hanya tidak mengerti bagaimana merealisasikan konsepnya. Ini pula salah satu tujuan HDMI mengadakan lokakarya di Jepara, yaitu agar desainer memahami permasalahan material, teknik-teknik konstruksi mebel, dan keterampilan perajin.

bc kobo2

Satu langkah yang menunjukkan seorang desainer memahami sistem produksi industri adalah menyadari produk yang ia buat terdiri dari komponen-komponen (part) yang dirangkai (assembling). “Seringkali desainer tidak tahu berapa jumlah part (komponen) dalam produknya. Padahal mengetahui bahwa tiap produk terdiri dari berbagai komponen adalah langkah awal berpikir industrial,” ujar Harry Maulana, desainer senior dari Tigo design, narasumber Workshop Tangan Jepara 2.

Harry mencontohkan desainer yang sudah berpikir secara industri. “Saya bertanya kepada Singgih S. Kartono, desainer Radio Magno. Berapa jumlah komponen dalam satu radio? Dia menjawab, misalnya, seratus. Artinya dia paham konsep industri.” Harry, yang banyak merancang untuk industri elektronika  berpendapat desainer seharusnya mulai menghitung jumlah komponen sejak membuat sketsa, sehingga ia tahu berapa panjang line produksi yang dibutuhkan. Berapa perajin yang ia butuhkan: tukang kayu, tukang las, perajin anyaman, pengukir, tukang bubut, dst.

Apa yang dipikirkan Harry dan dilakukan Singgih adalah contoh best practice sistem produksi industri desain Indonesia yang berbasis kriya. Tiap produknya didesain dengan tetap mengandung unsur kriya dan dikerjakan dengan tangan. Namun proses produksinya tersistem seperti industri yang efisien dan terukur secara waktu dan kualitas.

Contoh best practice lain adalah workshop BC Kobo milik Sunaryo, yang menjadi tempat penyelenggaraan lokakarya ini. Workshop, yang biasa orang Jepara sebut dengan gudang, ini jauh dari citra kuno atau ndeso. Produk-produk yang dibuat di sini adalah mebel-mebel Jepang. Mendengar nama Jepang, kita bisa menduga kualitas produk di BC Kobo. Baik? Sangat. Kita tentu tahu proses QC (quality control) produsen Jepang terkenal sangat ketat.

bc kobo3

‘Gudang’ ini merupakan satu compound yang terdiri dari beberapa bangunan dengan fungsi ruang pemotongan, assembling, pengamplasan, tungku atau oven, kantor, pengecatan dan finishing, loker, ruang makan bersama, dst. sesuai banyaknya tahapan produksi.

Kita bisa lihat tiap komponen tertata rapi. Ada yang digantung, ada yang ditumpuk di dalam sebuah kotak. Semua dinamai dengan bahasa Jepang. Maka saat ingin membuat kursi yang sudah pernah dibuat, perajin tinggal memperbanyaknya komponennya. Beberapa komponen yang sering dipakai akan diproduksi secara reguler agar saat dibutuhkan bisa langsung dipakai. Hal ini jelas mempercepat proses produksi.

 

bc kobo8

 

bc kobo5

bc kobo6

 

bc kobo7

Mengapa hal ini dilakukan? Karena mebel BC Kobo bergaransi seumur hidup. Jadi komponen model kursi lama tetap harus diproduksi untuk kebutuhan renovasi. Ini mengapa sampai saat ini Sunaryo hanya mengerjakan mebel untuk BC Kobo. “Melayani satu perusahaan saja sudah kewalahan.” Akan tetapi memperbanyak perajin tidak ada dalam opsinya. Tidak boleh lebih dari 50 orang, menurutnya, agar kualitas produk mudah terkontrol.

Sebagai perajin Sunaryo punya peran penting dalam desain. Alur kerja pra-produksi seperti ini. Desainer membuat gambar desain mebel yang ingin dibuat. Lalu setelah disetujui, gambar-gambar tersebut di-email ke Sunaryo. “Di tahap terakhir saya akan memberi masukan bagaimana sebaiknya bentuk, konstruksi, material dan detail-detail mebel tersebut dari segi produksi.”

Terkadang Sunaryo juga mendesain, akan tetapi dengan cara yang sangat industrial. “Karena banyak komponen yang sudah jadi, maka kita tidak perlu mendesain dari nol. Hanya memodifikasi komponen-komponen dengan konfigurasi yang berbeda saja sudah menghasilkan bentuk yang baru.”

Artinya, ada common parts yang dipakai berulang kali. Produk-produk buatan label-label besar di luar negeri selalu memiliki common parts sehingga satu produk dengan produk sebelumnya terlihat senada. Terkadang mereka memakai common parts ini dalam satu serial mebel. Dan terkadang common parts inilah yang menjadi ciri khas sebuah label.

Prinsip ini adalah prinsip industri yang mengutamakan efisiensi. Karena proses R & D untuk mendapatkan satu komponen tidak mudah dan murah, maka industri besar biasanya mensyaratkan desain baru harus memakai komponen-komponen yang sudah ada, meski hanya satu atau dua komponen. Hal ini dilakukan agar komponen-komponen lama tidak dibuang begitu keluar desain baru.

_DSC9732

bc kobo10

bc kobo19

Sunaryo juga suka bereksperimen dengan tinggi kursi. Tinggi kursi Jepang umumnya lebih rendah daripada kursi pada umumnya, yaitu 20 cm untuk tatami dan 40 cm untuk duduk regular, karena kaki orang Jepang yang unik, dari pinggang ke lutut panjang, tapi dari lutut ke telapak kaki pendek. Lalu Sunaryo berkesperimen dengan tinggi di antara 20 dan 40 cm.

Untuk mengakali masalah supply kayu, Sunaryo selalu memastikan vendor-nya untuk mengirim total permintaan selama satu tahun penuh agar stok kayu bisa diatur. Papan-papan kayu yang tertumpuk di lahan bengkelnya adalah persedian sampai tahun depan. Hal ini penting mengingat mendapatkan kayu yang baik tidak mudah. Selain itu pelelangan kayu Perhutani tidak berlangsung sepanjang tahun. Kesiapan dalam hal stok material penting untuk menjaga keberlanjutan ritme produksi.

_DSC9740

bc kobo12

 

bc kobo13

Akan tetapi, karena mebel-mebel yang dibuat di sini memakai konstruksi laminated, maka ia tidak risau dengan semakin langkanyakayu tua. Ia juga tak pernah menganggap kayu-kayu yang bermata sebagai kayu jelek, karena semuanya bisa dipakai setelah digabungkan. “Kita tidak selalu membutuhkan kayu yang bagus. Terkadang kayu yang jelek juga berguna, tergantung cara memakainya.” Pemakaian kayu yang efisien membuat gudang ini minim sampah. Dalam beberapa hari baru menyisakan satu karung remahan kayu. Itu pun dipakai lagi untuk elemen kecil atau dijadikan bahan bakar oven.

bc kobo14

Sunaryo tidak hanya membangun sistem produksi, tapi juga seluruh managemen. Dalam hal ini Sunaryo punya pendekatan humanis. Ruang makan. Di sinilah semua masalah dibahas dan dipecahkan. Ruang makan yang terbuka, dengan dapur yang terbuka pula. Dengan makanan yang dimasak dengan kayu bakar, semua perajin dengan keterampilan yang berbeda makan bersama. “Ruang ini tidak kenal jabatan. Semua pekerja makan di sini, saya makan di sini, bos saya yang orang Jepang juga makan di sini.” Mengapa begitu? Supaya di ruang kerja, yang ada hanya bekerja. Maka ujung-ujungnya kembali ke masalah efektivitas dan efisiensi.

bc kobo16

Ini bukan sistem Jepang. Workshop Sunaryo memang memroduksi produk-produk BC Kobo, tapi semua sistem dirancang oleh Sunaryo. Namun ini juga bukan sistem Jawa, karena apa yang Sunaryo lakukan di gudangnya tidak ia adopsi dari tradisi pembuat mebel di Jepara.

Ini adalah contoh kriya industrial atau industrial craft. Kriya, karena dikerjakan secara manual. Tapi bersifat industrial karena sistem produksi berjalan seperti layaknya industri besar: ada line produksi, common part yang dipakai berulang kali, dan yang jelas, satu produk tidak dikerjakan satu orang.

bc kobo17

Sistem seperti ini bisa jadi alternatif dalam stagnannya industri mebel Jepara saat ini. Namun untuk mencapai kondisi ideal, desainer harus sadar jika kontribusi mereka bukanlah sekadar desain yang bagus, tapi kemampuan merancang sistem produksi secara keseluruhan atau mendesain produk yang mendukung atau memanfaatkan sistem tersebut. Bagaimana tercapai kolaborasi ideal dengan para perajin sekaligus mengoptimalkan keterampilan mereka adalah pekerjaan rumahnya.

Karena industri mebel Jepara berbasis kriya, maka tidak bisa serta-merta mengadopsi sistem industri konvensional seperti pabrik. Namun sistem produksi tradisional seperti perajin mebel yang sudah-sudah juga dirasa sudah mencapai titik jenuh. Memang ini hanya alternatif. Belum tentu berhasil jika diaplikasikan oleh semua perajin atau desainer. Namun tak pernah salah untuk mencari cara baru, seperti kata Sunaryo, “Budaya itu ada karena ada orang-orang yang berani bereksperimen.”

_DSC9789

Tangan Jepara #2

Industri dan desain. Di seluruh dunia, dua pihak tadi tak bisa dipisahkan. Namun berbeda kenyataannya dengan di Indonesia. Di sini, dua pelaku tadi seringnya masih berjalan masing-masing. Industri merasa desainer tidak bisa menguntungkan mereka, desainer merasa industri tidak mengerti dan menghargai desain. Selalu itu terus yang diributkan.

Ada yang berpendapat, di Indonesia, desain lebih dekat dengan sains, yang artinya desainer lebih dekat dengan tokoh-tokoh akademisi. Hal ini bisa dibenarkan mengingat banyak inisiatif-insiatif di bidang desain dating dari lingkungan kampus. Beberapa akademisi desain bahkan mengantongi berbagai penghargaan dan memiliki proyek riset yang mendunia.

Lalu bagaimana relasi antara desainer dengan perajin atau artisan? Dengan kenyataan kebanyakan desianer (lulusan universitas) lebih banyak berpraktik di perkotaan, kolaborasi yang terjalin antara desainer dan perajin banyak yang belum ideal. Ini mengapa kemudian banyak artisan atau perajin yang turun levelnya menjadi sekadar tukang pengeksekusi ide. Namun, saat ini justru banyak desainer bekerja langsung dengan perajin atau tukang, karena kenyataannya desainer memang belum sepenuhnya terhubung dengan industri besar. Maka, sudah pasti satu-satunya cara untuk tetap memroduksi produk adalah dengan bekerja secara langsung dengan perajin.

Lain lagi dengan material. Kayu misalnya. Apakah desainer yang selalu terpesona pada kayu sudah berusaha mengetahui dari mana bahan karyanya itu berasal? Bagaimana alur proses mulai dari sebatang pohon menjadi sebuah mebel? Siapa orang-orang yang menjadikan nyata ide-ide mereka?

Mempertemukan semua pihak tersebut adalah salah satu sasaran Himpunan Desainer Mebel Indonesia melakukan workshop Tangan Jepara secara reguler. Tujuan utama program workshop mebel adalah agar sinergitas industri dan desain terwujud, utamanya memberikan meningkatkan kompetensi desainer mebel. Untuk itu, maka workshop ini diselenggarakan di daerah di mana semua hal itu mungkin dilakukan.

Ini adalah Jepara, salah satu wilayah industri mebel terbesar di Indonesia. Sebagai kelanjutan workshop desain Tangan Japara, HDMI kembali menghadirkan Tangan Japara #2 pada 22 – 25 November 2013 lalu di Desa Tegal Awur, Jepara. Pada workshop Tangan Jepara #2 ini, hampir semua pelaku dalam bidang desain mebel dipertemukan, mulai dari desainer profesional, desainer fresh graduate, mahasiswa desain, akademisi desain, arsitek, pemerhati desain dan senirupa, juga perajin.

Di kota ini kayu-kayu gelondongan atau papan dijual langsung dari Perhutani. Di kabupaten ini juga kayu-kayu tersebut dipotong dan dikeringkan. Di desa ini juga kayu-kayu tersebut diproses menjadi produk-produk mebel. Di sini pula, kita bisa membeli langsung produk-produk mebel yang dipajang di etalase butik atau di depan rumah.

“Sebagaimana sudah diketahui Industri perkayuan Jepara dikenal memiliki sejarah yang panjang dalam hal craftmanship. Suatu alasan yang sangat kuat untuk mengklaim “Branding” kota Jepara disebut sebagai “World Carving Center”. Hanya saja, karena besarnya permintaan pasar ekspor di era 90-an, sebagian besar industri dan pabrikan yang memproduksi furnitur cenderung masih dikendalikan oleh keinginan para buyer asing sehingga posisi tawar belum dirasakan optimal. Pelaku mebel mengalami penurunan nilai ekonomi yang cukup significant, pelaku setempat kebanyakan masih ditekan pembeli dalam harga jual, sebagian pelaku akhirnya memilih bertahan untuk sekadar menyambung hidup. Turut disayangkan karakteristik produk yang dihasilkan industri juga terpengaruh dan bergeser hanya mengikuti selera pasar global yang banyak membuat produk yang bersifat massal.”

“Kami menyakini, kebutuhan para desainer untuk selalu berkreasi terkadang membutuhkan tantangan. Dalam hal ini Desainer dituntut dapat mencari solusi kreatif antara potensi dan keterbatasan industri yang ada di sekelilingnya,” tulis Bambang Kartono. Ini mengapa workshop disusun dengan materi-materi Pengetahuan Bahan Kayu, Pengetahuan Produksi, Industri Kayu, Craftmanship, dan Proses Kreatif.

DSC07210

Di hari pertama workshop, 20 desainer yang didominasi oleh desainer muda ini diberikan pengetahuan tentang permasalahan kayu dan stoknya. Di lokasi yang sama dengan tempat penjualan kayu, desainer-desainer melihat sendiri bagaimana kayu-kayu dipotong dan dikeringkan di dalam oven.

DSC07213

DSC07217

tj21

Informasi yang sangat berharga pada tahapan ini adalah desainer-desainer mengetahui jika saat ini stok kayu yang berkualitas baik semakin minim. Khususnya pada akhir-akhir tahun seperti ini, hanya kayu-kayu Perhutani yang kurang baiklah, yang masih banyak. Selainnya perajin dan produsen mebel mensubstitusi dengan kayu meh atau kayu kampong yang muda dan kualitasnya rendah.

DSC07235

Selain kayu meh, kayu-kayu dari Sulawesi juga menjadi alternatif saat stok kayu menipis. Sama seperti kayu meh yang kurang bagus, kayu-kayu Sulawesi juga kurang ideal untuk dijadikan mebel karena mengandung banyak air. “Kayu Jati terbaik adanya di Jawa Tengah sampai Jawa Timur.”

tj26

tj27

tj28

tj29

Setelah melakukan kunjungan ke tempat penjulan kayu dan tempat pemotongan kayu, workshop dilanjutkan dengan sesi berbagi pengalaman dan metode perancangan oleh dua desainer senior, Harry Maulana dari Tigo desain, dan Joshua Simanjuntak, dari Karsa. Harry yang selama ini bekerja untuk industri besar, salah satunya produsen barang elektronik, bukan merancang untuk label produknya sendiri, dituntut untuk melaukan serangkaian riset pra perancangan untuk kemudian bisa menentukan atau memahami pasar yang menjadi target pemasarannya. Agak berbeda dari kebiasaan desainer yang merancang dengan bebas.

tj31

Apa yang dilakukan Joshua dengan coffe table-nya lebih sederhana dari apa yang dilakukan oleh Harry. Joshua mendesain untuk labelnya sendiri, yaitu Karsa. Pendekatan yang ia lakukan lebih personal. Riset yang ia lakukan adalah dengan berkunjung ke rumah-rumah masyarakat Indonesia pada umumnya, dan dari situlah kemudian ia mendapatkan inspirasi desainnya.

tj32

Jika siangnya sesi berbagi pengetahuan diberikan oleh para praktisi, malamnya peserta mendapatkan masukan wacana dari para akademisi, yaitu Ramli dan Fabianus dari Institus Kesenian Jakarta. Pak Ramli mengingatkan kembali jika unsure utama dalam desain, yang harus dikuasai oleh desianer kembali ke masalah elemen senirupa, yaitu garis bentuk, teksur, material, dan warna.

tj33

Sementara Fabianus masuk ke wilayah yang lebih tangible. Ia bicara tentang budaya duduk dan mempertanyakan lagi bagaimana sebenarnya kita harus mendesain sebuah wadah untuk duduk. Dalam presentasinya, ia mencontohkan bagaimana mebel Jepang, dalam bentuk dan wajah yang lebih modern tetap mengakomodasi tradisi duduk ala tatami mereka. Desain mereka pun menjadi wadah perkembangan budaya Jepang, tanpa menggerus budaya leluhur mereka.

Dalam presentasinya ia juga menunjukkan foto-foto masyarakat Indonesia masa lalu yang duduk di lantai. Kalau pun dinaikkan, mereka tidak duduk di atas kursi melainkan landasan duduk mereka yang ditinggikan.

tj34

Proses kreatif kemudian dilakukan di Workshop BC Kobo milik Sunaryo. Pada sesi ini peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok agar terjadi pertukaran pengetahuan yang lebih intens. Pada akhirnya, masing-masing peserta diharuskan untuk menghasilkan sebuah konsep rancangan sebuah stool, yaitu sarana duduk multi fungsi tanpa sandaran. Pada malam terrakhir workshop, masing-masing konsep rancangan diberi masukan oleh para narasumber, untuk kemudian dikembangkan lagi oleh pemikik desain. Kemudian konsep ini akan diproduksi dengan terus dikawal oleh HDMI.

DSC07248

tj38

tj36